Catatan : Christian Saputro, penyuka musik.
Sabtu sore, 9 Agustus 2025, langit Kota Lama Semarang berwarna tembaga. Udara menyimpan aroma laut yang dibawa angin, bercampur dengan bau besi panggung dan kabel listrik yang memanas. Di Amphitheatre Kotta Hotel, suara soundcheck gitar terdengar seperti kilatan petir yang jatuh di tengah kota tua. Kali ini mereka tampil dalam hajat, Penta K Labs 5 gawe Kolektif Hysteria.
Anita Dewi,mewakili Hysteria dalam sambutan singkatnya mengatakan, hajat Penta K Labs merupakan bienalle yang diinisiasi Kolektif Hysteria. “Ini kali yang kelima bertpatan dengan 20 Tahun Kolektif Hysteria. Kami mengajak setidaknya 17 Komunitas untuk merayakannya dengan memberikan ruang untuk berekspresi,” terang Anita.
Orang-orang mulai berkumpul, sebagian mengenakan kaos hitam bertuliskan nama band favorit mereka, sebagian lain hanya berdiri diam dengan tatapan penasaran. Mereka tahu, senja itu, Semarang akan diguncang oleh sebuah nama yang sudah lama menjadi legenda: Radical Corps.
Tiga Dekade Amarah yang Terjaga
Bagi penggemar musik metal, Radical Corps bukan sekadar band. Sejak 1992, di bawah komando Rudy Murdock, mereka menjadi pengeras suara bagi segala bentuk perlawanan terhadap kekuasaan yang korup dan represif. Musik mereka adalah jeritan yang dibungkus riff gitar agresif, dentuman drum yang tak mengenal belas kasihan, dan lirik yang menolak basa-basi.
Di panggung RESISTANCE, mereka memanggil kembali arwah-arwah amarah itu. “Murder Age” menghantam pertama kali, seolah membuka pintu penjara bagi kemarahan kolektif. “Rage Against The System” membuat kepala-kepala bergoyang dalam ritme yang brutal. “School For A Fool” dan “Bantai” meledak seperti granat, sementara “The World We Created” memberi jeda sesaat — bukan untuk beristirahat, tetapi untuk merasakan getirnya kenyataan yang mereka nyanyikan.
Intimate Aggression: Menyentuh Metal dari Dekat
Kolaborasi mereka dengan Bandeng Juwana dalam sesi Intimate Aggression menciptakan suasana unik: aroma bandeng asap melayang-layang di udara, menabrak bau keringat dan udara panas dari lampu panggung. Aneh, tetapi justru membumi — seperti mengingatkan bahwa perlawanan juga lahir dari tanah di mana kita berdiri. Penonton berada sangat dekat dengan band, cukup dekat untuk melihat urat di tangan Rudy Murdock saat memetik senar, cukup dekat untuk merasakan getaran dari bass Novelino yang menghantam dada.
Musik Sebagai Dokumen Perlawanan
Radical Corps tidak pernah menulis lagu hanya untuk hiburan. Album mereka State of Emergency (2006) adalah bukti: rekaman murka di masa transisi reformasi, saat euforia jatuhnya Orde Baru cepat digantikan oleh kenyataan pahit korupsi, ketidakadilan, dan represi militer. Di RESISTANCE, lagu itu terdengar seperti pesan yang menyeberangi waktu — relevan, tajam, dan masih menyakitkan.
Rudy, dengan suara serak dan tatapan tajam, sempat berteriak di sela lagu: “Jangan diam! Mereka akan terus injak kita kalau kita diam!” Kalimat itu disambut sorakan yang memantul di dinding tua Kota Lama. Sejenak, panggung itu menjadi ruang politik, ruang di mana musik adalah senjata.
Lebih dari Sekadar Konser
Menonton Radical Corps senja itu bukan sekadar menonton musik. Itu seperti berdiri di tengah badai — keras, kotor, tetapi jujur. Thrash metal, dengan segala kebisingannya, menjadi bahasa yang langsung ke jantung, tanpa retorika.
Ketika lagu terakhir berakhir, tubuh penonton basah oleh keringat, telinga berdenging, tetapi mata berbinar. Di antara mereka, ada yang mungkin tidak paham seluruh liriknya, tapi mereka mengerti pesannya: bahwa murka, jika diarahkan dengan benar, bisa menjadi energi untuk bertahan dan melawan.
Radical Corps meninggalkan panggung seperti mereka memasukinya — tanpa basa-basi. Hanya suara umpan balik gitar yang menggema, seperti gema perlawanan yang enggan padam di Kota Lama. (*)