Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Sumatera Post, tinggal di Semarang
Matahari mulai menunduk di langit Semarang ketika nada-nada lembut mengalun dari balik dinding kaca Maxi Brain Academy Hall, Semarang, Minggu, (12/10/2025). Di tengah jalan Rinjani yang lengang, udara membawa getar halus dari senar dan tuts, seolah memanggil siapa pun yang masih percaya bahwa musik mampu menenangkan jiwa. “Oktober Chamber Concert” bukan sekadar pertunjukan; ia adalah perjalanan batin yang menggamit rasa, menghidupkan kenangan, dan menautkan manusia lewat bahasa universal: musik.
Dibuka dengan senyum hangat Pauline Wonoadi, sang pendiri Maxi Brain Academy, konser ini menjadi cerminan cita-citanya: membangun ekosistem musik kamar di Semarang. “Kita semua punya tempat dalam musik,” ujarnya dengan mata berbinar. “Entah sebagai pemain, penonton, atau pendukung—semuanya adalah bagian dari harmoni.” Dari ruang kecil inilah, gema cita dan nada berpadu menjadi energi yang menyalakan semangat kebersamaan.
Oei Hong Djien, kolektor seni rupa dan pemilik OHD Gallery, hadir memberikan apresiasi tulus. Ia menyebut Semarang sebagai kota yang berani menyalakan obor musik kamar, di saat banyak kota besar lainnya masih mencari napas. “Tradisi baik ini jangan padam,” katanya, “biarlah terus tumbuh, menembus ruang dan waktu.”
Dan malam itu, di bawah lampu yang lembut, tujuh repertoar melintas seperti kisah dalam buku lama—dari kelembutan Berceuse karya Fauré, hingga keheningan penuh daya pada Concerto for Contrabass in F-sharp minor karya Koussevitzky.
Grady Harsono, sang kurator repertoar, memandu penonton menjelajahi lanskap emosi: dari kepolosan hingga kekhidmatan, dari rindu hingga penerimaan.
Tak hanya nada, tetapi juga nilai. Kolonel CAJ Yudi Wahyudi dari Ditajenad mengingatkan bahwa musik bisa menjadi ruang perenungan kebangsaan. “Ini bukan sekadar konser,” ujarnya, “tapi panggilan untuk mengenali siapa kita dan bagaimana kita menjaga keberagaman dalam kesatuan.”
“Echoes of Life” menutup malam dengan sunyi yang berbicara. Tak ada sorak keras, hanya tepuk tangan yang terasa seperti doa. Di antara gema nada dan udara Oktober yang lembab, Semarang seakan berbisik: musik kamar hidup di sini—dalam kesederhanaan, dalam kejujuran, dalam getaran yang menyentuh jiwa.
Nada telah menyala. Kini giliran Anda untuk mendengarnya—dengan hati.(*)




