Sumaterapost.co | Binjai – Kajian sejarah tentang Papua masih menjadi “isu seksi” Nasional, bahkan di tingkat internasional. Sayangnya sampai saat ini masih sangat jarang akademisi di tanah air yang meneliti berbagai kajian ilmiah tentang Bumi Cendrawasih.
Hal ini diungkapkan Sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr. Rosmaida Sinaga, saat tampil sebagai narasumber pada Kelas Daring Program Studi Strata 2 Ilmu Sejarah, Fakultas Ulmu Budaya (FIB, Universitas Sumatera Utara (USU), Kamis (17/02/2022).
“Kajian-kajian tentang Papua, khususnya sejarah, masih menjadi isu seksi dan sorotan publik pada umumnya, bukan hanya di tingkat nasional tapi juga internasional. Sayangnya belum banyak peneliti menjadikan Papua sebagai bahan kajian ilmah,” ungkapnya.
Dalam acara dipandu Guru Besar Sejarah FIB USU, Prof Dr Budi Agustono MS, dan tersambung via Aplikasi Zoom, Rosmaida memaparkan materi berjudul “Berdagang Rempah: Hibriditas Kultural dan Politik di Papua Abad ke-19”.
Dimana menurut akademisi yang telah menjadi openeliti Papua selama lebih dari 20 tahun ini, banyak sekali pengetahuan baru ditemukan, yang justru membuka wawasan masyarakat tentang sisi eksotisme Papua.
“Jadi, Papua itu tidak seperti yang kita bayangkan. Tidak melulu bicara keunikan ras, atau kondoso sosial-budaya masyarakatnya. Sebab mengkaji Papua maka kita juga bicara persilangan (hibriditas) budaya dan politik di wilayah Indonesia timur,” ujar Rosmaida.
Dikatakannya, sejak masa prakolonial Papua sebenarnya telah meninjuian perannya srbagai salah satu pusat interaksi sosial, ekonomi, dan politik internasional untuk kawasan timur Nusantara (Indonesia).
Situasi ini dipengaruhi peningkatan aktivitas perdagangan rempah terutama pala, dan perluasan pengaruh Islam dari Kesultanan Tidore melalui Seram dan Gorom, yang menjadikan Papua bagian barat dan utara, sebagai salah satu wilayah strategis saat itu.
Meskipun begitu, diakui Rosmaida, hingga masa menjelang kemerdekaan Indonesia, Papua masih dianggap salah satu wilayah di Hindia Belanda (Indonesia) yang kurang diminati pemerintah kolonial untuk dieksplorasi.
“Proses interaksi sosial, ekonomi, dan politik, sejak abad ke-16 juga menciptakan budaya dan sistem politik yang khas. Seperti ditemukan di Fakfak, Kaimana, Sorong, Serui, Rajampat, dan wilayah lainnya di pesisir barat dan utara Papua,” jelas Rosmaida.
Bahkan proses interaksi lintas etnis dan budaya, juga menciptakan ciri demografis yang tidak kalah khas, yanh dipengaruhi akulturasi dan asimilasi antar etnis dan ras.
“Tidak heran masyarakat Papua Barat punya ciri fisik sedikit berbeda dengan gambaran umum orang Papua. Bahkan bahasa Melayu yang mereka pakai hampir mirip dengan bahasa Melayu yang umumnya dipakai di Kepulauan Maluku,” papar Rosmaida.
Sebelumnya, Guru Besar Sejarah FIB USU, Prof Dr Budi Agustono MS, mengajak para sejarawan, khususnya mahasiswa Strata 1 dan 2 Ilmu Sejarah FIB USU agar mengupas berbagai isu strategis terkait sejarah ekonomi.
Sebab dia menilai, kajian sejarah bukan hanya sebatas mengupas kejadian masa lalu yang berkaitan dengan peristiwa politik, konflik sosial, peperangan dan pemerintahan semata, melainkan mengulas isu-isu strategis dari berbagai sisi dan pendekatan.
“Terimakasih saya kepada Dr Rosmaida Sinaga, yang telah membuka mata dan wawasan kita tentang Papua. Semoga dialog ini memotivasi sejarawan lainnya untuk mengupas isu-isu strategis terkait sejarah ekonomi,” ujar Budi. (andi)