Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni, tinggal di Tembalang, Semarang
Senja baru beringusut di Kota Lama, udara masih lembap setelah gerimis singkat. Dari kejauhan, Rumah Po Han tampak ramai. Di halaman depannya, mural besar seperti pintu sejarah: garis-garis dan warna-warna liar yang bercerita tentang perjalanan panjang Hysteria. Para pengunjung berdiri sejenak, membaca mural itu seperti membaca peta ingatan, Aturen, Awuren yang terus berkelindan, sebelum melangkah masuk.
Begitu melewati pintu kayu tua, ruang pertama menyambut dengan dentum halus musik elektronik. Musik room yang digarap DJ memantulkan ritme santai, mengisi udara dengan nuansa hangat sekaligus eksperimental. Anak-anak muda duduk di lantai, sebagian berdiri sambil mengangguk pelan mengikuti beat. Musik ini bukan sekadar latar, tetapi semacam getaran yang mengikat semua yang hadir dalam satu suasana.
Di sisi lain, ruang bioskop menampilkan arsip video pemutaran film Hysteria dari masa ke masa. Pengunjung duduk di kursi kayu sederhana, menonton gambar bergerak dari Grobak Bioskop hingga Ditampart. Sesekali tawa pecah, ketika layar menampilkan dokumentasi canggung—proyektor mati mendadak, layar jatuh tertiup angin. “Begitulah, apa adanya, tapi hangat,” gumam seorang pengunjung. Ruang bioskop ini menjadi jendela ke masa lalu, membuktikan bahwa ketidaksempurnaan justru adalah keintiman.
Namun yang paling memikat adalah lorong masa depan. Sebuah instalasi gelap dengan cahaya neon biru dan hijau, diproyeksikan pada dinding-dinding sempit, membawa pengunjung seakan masuk ke galeri kontemporer yang “akan datang.” Visualisasi rencana markas baru Hysteria di kawasan Ngiyo, Gunungpati, divisualkan lewat gambar digital, maket, dan cahaya. Anak-anak muda tampak sibuk berswafoto, sementara yang lain melangkah pelan, menatap imaji masa depan itu dengan wajah takjub. “Jadi ini ya, markas kita kelak?” celetuk salah satu mahasiswa sambil tersenyum lebar.
Interaksi terjadi di setiap sudut. Ada yang mencoba permainan sederhana berupa dadu raksasa di tengah ruang, ada yang menulis kesan di kertas warna-warni lalu menempelkannya di dinding arsip, ada pula yang hanya duduk lama memandang mural, seakan mencoba menyerap energi dua dekade perjalanan kolektif ini.
Malam semakin larut, namun Rumah Po Han masih penuh. Musik terus berdenyut, obrolan tak kunjung reda, dan ruang-ruang itu bernafas dengan tubuh-tubuh yang mengisinya. Hari pertama Ruang Bermain bukan sekadar pembukaan pameran, melainkan pertemuan: antara masa lalu dan masa depan, antara arsip dan imajinasi, antara seni dan kehidupan sehari-hari.
Hysteria sekali lagi membuktikan: bermain adalah cara paling serius untuk menghidupi kota.
Di luar hiruk pikuk pameran, “ruang bermain” terasa bukan sekadar tema, melainkan sebuah sikap. Bermain adalah cara untuk bertahan—melucuti keseriusan dunia yang kaku, menghadapi kenyataan yang kadang getir dengan kelenturan. Seperti anak-anak yang bisa menemukan kebahagiaan dari kelereng atau congklak, Hysteria menunjukkan bahwa kreativitas bisa lahir dari kesederhanaan, dari lorong sempit, dari dinding tua yang retak.
Ini Di tengah dunia yang makin digerakkan oleh algoritma dan kapital, ruang-ruang alternatif seperti ini mengingatkan bahwa budaya bukan hanya produk yang dipajang, tapi juga proses yang dihidupi. Bermain, dalam konteks ini, adalah bentuk perlawanan halus: melawan lupa, melawan dominasi, melawan anggapan bahwa yang kecil tak penting.
Mungkin itu sebabnya pengunjung betah berlama-lama. Mereka datang bukan sekadar melihat instalasi, melainkan merasakan bahwa ada yang terselamatkan dalam diri mereka—ingatan masa kecil, rasa ingin tahu, dan keyakinan bahwa budaya tumbuh dari bawah, dari keberanian untuk mencatat, berjejaring, dan… bermain.
Hysteria menamai ruang ini Ruang Bermain, tetapi sejatinya ia adalah ruang belajar yang paling serius: belajar bagaimana tetap hidup, tetap lentur, dan tetap merayakan.(*)




