Medan — Air bah belum benar-benar surut, luka belum sepenuhnya kering. Namun di tengah puing rumah, lumpur, dan kehilangan, perempuan Sumatera memilih berdiri. Mereka tidak menunggu sempurna, tidak menanti keadaan pulih sepenuhnya. Mereka bergerak—untuk bertahan, saling menopang, dan memastikan kehidupan tidak berhenti di tengah bencana.
Inilah suara yang mengemuka dalam Catatan Akhir Tahun 2025 Konsorsium PERMAMPU, yang dirilis menjelang tutup tahun. Laporan tersebut menegaskan bahwa perempuan dan kelompok marginal menjadi kelompok paling terdampak, sekaligus paling tangguh, dalam rangkaian banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November hingga Desember 2025.
Data yang dihimpun PERMAMPU mencatat, bencana hidrometeorologi itu telah merenggut 1.090 nyawa, membuat 186 orang hilang, serta melukai sekitar 7.000 orang. Tak kurang dari 510.528 warga terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah, ladang, dan masa depan yang selama ini mereka rawat.
Di sejumlah wilayah seperti Aceh Timur, Sibolga–Tapanuli Tengah, hingga Batu Busuak, Padang, banjir datang berulang. Jalan berubah menjadi sungai. Rumah hanyut. Tanah pertanian lenyap. Bahkan, beberapa desa disebut berpotensi hilang dari peta.
PERMAMPU menilai, Siklon Tropis Senyar menjadi pemicu utama bencana besar kali ini. Namun, air yang meluap dan tanah yang runtuh diperparah oleh kerusakan hutan massif akibat perambahan kayu, pertambangan, dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit.
“Alam runtuh karena dipaksa menanggung beban yang berlebihan,” tulis PERMAMPU dalam laporannya.
Di sisi lain, kesiapsiagaan negara dinilai tertinggal jauh. Penanganan darurat disebut lambat, anggaran terbatas, dan bantuan tidak segera menjangkau warga. Dalam sejumlah kesaksian korban, jenazah tidak langsung dievakuasi, sementara warga bertahan dalam kondisi lapar dan trauma.
Dalam Perayaan Hari Gerakan Perempuan, 22 Desember 2025, PERMAMPU mencatat 1.385 anggota dampingan terdampak langsung—terdiri dari 733 perempuan dewasa, 134 lansia, dan 518 anak-anak—yang tersebar di 13 kabupaten/kota di tiga provinsi.
Namun, di tengah situasi gelap itu, solidaritas menjadi cahaya. Perempuan akar rumput bergerak menyediakan dapur darurat, merawat anak-anak dan lansia, menguatkan sesama korban, bahkan menjadi penopang utama ketika negara belum sepenuhnya hadir.
Kesadaran itulah yang mendorong PERMAMPU bersama jejaring FKPAR, Credit Union (CU), Keluarga Pembaharu, Femokrat, media, serta jaringan disabilitas dan lansia—melibatkan 180 peserta—menegaskan komitmen untuk melanjutkan respons kemanusiaan dan advokasi jangka panjang.
Koordinator Konsorsium PERMAMPU Dina Lumbantobing menyatakan, fokus gerakan ke depan tidak hanya pada bantuan darurat, tetapi juga pemulihan berbasis kebutuhan perempuan, mulai dari dukungan psikososial, layanan kesehatan reproduksi, hingga pencegahan kekerasan dan perkawinan anak pascabencana.
“Kami ingin memastikan perempuan tidak hanya selamat, tetapi juga berdaya dan didengar dalam proses pemulihan,” ujarnya.
PERMAMPU juga akan memantau proses relokasi korban bencana, mengadvokasi ketersediaan lahan pertanian dan kompensasi yang adil, serta terus mendorong mitigasi bencana berkelanjutan di wilayah rawan cincin api, deforestasi, dan dampak perubahan iklim.
Menutup tahun 2025, PERMAMPU mengajak semua pihak—pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas—untuk membangun Sumatera yang lebih adil dan tangguh, dengan menempatkan resiliensi perempuan sebagai pusat pemulihan.
Di tanah yang berkali-kali dilanda bencana ini, perempuan Sumatera kembali mengajarkan satu hal penting:
ketika segalanya runtuh, solidaritaslah yang menjaga hidup tetap menyala. (Christian Saputro)




