Bantul – Yogyakarta tak hanya menyimpan jejak masa lalu dalam dinding candi dan lorong kota lamanya, tapi juga dalam denyut panggung yang menuturkan ulang kisah klasik dengan jiwa baru. Pada Kamis malam, 7 Agustus 2025, Gedung Graha Budaya di Taman Budaya Embung Giwangan menjadi saksi sebuah pertunjukan yang tak sekadar hiburan, melainkan perenungan: lakon Sang Bima oleh Wayang Orang Delegasi Kesenian Kota Semarang dalam rangkaian Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) 2025.
Wayang orang dengan lakon Sang Bima ini disutradarai oleh Budi Lee dengan penata tari Paminto Krisna dan penata karawitan Githung Swara.
Malam itu, suara gamelan mengalun seperti napas zaman. Penonton larut dalam atmosfer magis, ketika Werkudara—lebih dikenal sebagai Bima—muncul tak dalam balutan perang, melainkan pencarian. Inilah kisah seorang ksatria yang memilih menjauh dari gemuruh dunia untuk menelusuri sunyi dirinya sendiri. Ia bukan kalah, tapi sedang menuju kemenangan sejati: memahami makna hidup.
Lakon Sang Bima adalah antitesis dari cerita-cerita heroik pada umumnya. Tak ada medan laga, tak ada musuh untuk ditaklukkan, kecuali satu: ego. Werkudara, yang dikenal karena kesaktiannya, kekuatan Gada Rujakpolo, dan kuku Pancanaka, justru menanggalkan semuanya demi satu misi: menemukan ilmu kasunyatan, hakikat hidup yang sejati.
Ia berguru pada Durna, menuruti kehendak istana, namun jiwanya terusik. Ia ingin tahu: untuk apa semua ini? Maka dimulailah perjalanan spiritualnya—menyelami gunung, rimba, hingga dasar samudera—dan bertemu Dewa Ruci, makhluk mungil yang tak lain adalah bayang dirinya sendiri. Di sanalah Bima tak lagi bertarung melawan musuh, melainkan menundukkan dirinya.
Dan dalam tubuh Dewa Ruci yang kecil itu, ia melihat semesta. Ia belajar bahwa kekuatan bukan untuk menguasai, tapi untuk melindungi. Bahwa kasih adalah bahasa kekal semesta. Bahwa ksatria sejati adalah mereka yang bisa menahan diri, memberi, dan menerima kehidupan sebagaimana adanya.
Wayang Orang Sang Bima yang dibawakan oleh Ngesti Pandawa bukan hanya sajian estetika. Ia adalah tafsir ulang atas budaya, spiritualitas, dan filosofi Jawa yang terus hidup. Dalam lakon ini, penonton diajak menengok batin sendiri, menelusuri ruang di mana manusia bukan hanya makhluk kuat, tapi juga makhluk rapuh yang sedang mencari arah pulang. Kehadiran para pejabat kebudayaan dari berbagai kota, termasuk Sekretaris Disbudpar Kota Semarang, Syamsul Bahri Siregar, dan Kabid Kebudayaan Saroso, menjadi simbol betapa pentingnya kebudayaan sebagai tali pengikat antarkota pusaka. Panggung bukan hanya milik seniman, tapi milik bangsa yang ingin kembali mengenal dirinya.
Di akhir pertunjukan, penonton tak bersorak riuh. Mereka diam sejenak, seperti Bima yang baru saja keluar dari perut semesta. Mungkin di sanalah letak keberhasilan lakon ini—bukan pada gemuruh tepuk tangan, tapi pada hening yang mengendap dalam diri.
Sebab dalam sunyi itulah, Sang Ksatria akhirnya pulang. (Christian Saputro)