Semarang, SKH Sumatera Post — Balairung Universitas PGRI Semarang, Rabu (29/10/2025), menjelma menjadi ruang persembahan budaya yang penuh warna. Di bawah tema “Lestari di Panggung Tradisi”, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Sangkatama menghadirkan Mahakarya #7, pergelaran seni yang memadukan karawitan, tari, dan wayang sebagai bentuk penghormatan atas keluhuran budaya Jawa.
Sejak pagi, kesibukan tampak di sekitar kampus. Panitia bekerja tanpa henti mempersiapkan segala keperluan pertunjukan. Pukul 14.30 WIB, pintu dibuka dan penonton mulai berdatangan, disambut alunan uyon-uyon dari gamelan yang menciptakan suasana hangat dan akrab.
Acara resmi dimulai pukul 15.30 dengan pembukaan oleh MC, dilanjutkan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars UPGRIS. Ketua Panitia, Anin, menyampaikan laporan kegiatan yang disusul sambutan pembina UKM Sangkatama dan doa oleh Amel, membuka rangkaian acara dengan khidmat. Pembukaan resmi kegiatan ditandai dengan pemukulan 0leh
Rangkaian Seni Tradisi yang Memikat
Pertunjukan sore dibuka oleh Karawitan UKM Sangkatama, diikuti tari-tarian tradisi dari berbagai komunitas: Tari Golek Manis (Egam), Golek Ayun-Ayun (SCU), Geol Denok (Sangkatama), Mojang Priyangan (Unimus), dan Sri Ganyong (Egam). Gerak penari yang lemah gemulai namun tegas berpadu dengan irama gamelan, menghadirkan harmoni antara jiwa muda dan roh tradisi.
Usai jeda ISHOMA pukul 17.30, malam dilanjutkan dengan penampilan Dalang Cilik Danen dan Dafan yang memukau penonton lewat gaya segar dan pesan moral khas wayang. Tari Kudangan kemudian membuka jalan menuju puncak acara—Wayangan Kolaboratif, yang berlangsung hingga malam larut.
“Mahakarya bukan sekadar ajang unjuk kebolehan, tapi ruang pewarisan. Kami ingin generasi muda tak hanya menonton budaya, tetapi menjadi bagian di dalamnya,” ungkap Anin seusai acara.
Harmoni Seratus Tahun: Menghidupkan Semangat Ki Narto Sabdo
Pementasan ini merupakan bagian dari rangkaian “Harmoni Seratus Tahun”, peringatan satu abad kelahiran maestro karawitan dan pedalangan Ki Narto Sabdo. Sehari sebelumnya, Minggu (26/10), di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang digelar prosesi jamasan atau penyucian patung Ki Narto Sabdo oleh Ki Suradji, sesepuh seniman yang memimpin ritual penuh khidmat dengan diiringi tabuhan gamelan lembut.
“Ini bukan sekadar menyiram patung, tapi menyiram kembali ingatan kita pada nilai-nilai luhur yang diwariskan Ki Narto,” ujar Ki Suradji dalam sambutannya.
Mahasiswa UKM Sangkatama turut ambil bagian dengan balutan busana adat dan sesaji simbolik, memperlihatkan keterlibatan generasi muda dalam menjaga warisan budaya Jawa.
Prosesi jamasan itu menjadi pengingat bahwa menghormati tokoh budaya tidak cukup dengan mengenang namanya, tetapi dengan meneruskan semangatnya melalui karya dan dedikasi.
Puncak Persembahan Budaya
Puncak Harmoni Seratus Tahun digelar bersamaan dengan Mahakarya #7 di Balairung UPGRIS, menampilkan konser karawitan, tari, dan wayangan kolosal bertajuk “Tripama Kawedhar”—lakon yang sarat nilai kepemimpinan dan kebijaksanaan. Empat dalang lintas generasi tampil estafet: Ki Jagad Bilowo, Ki Mohammad Asy’Aril, Dr. Bambang Sulanjari, serta Danendra dan Dafandra Djuanda.
Seluruh penulisan naskah dan iringan digarap oleh RT Suradji Hadi Kusumo Projo Dipuro, menjadikan pergelaran ini bukan hanya tontonan, melainkan tuntunan.
Tanpa tiket masuk, acara ini terbuka untuk masyarakat umum—pesan simbolis bahwa seni adalah milik rakyat, bukan milik kalangan tertentu.
Budaya yang Tak Pernah Padam
Ketika gong pamungkas ditabuh dan tirai menutup, tepuk tangan panjang menggemuruh di Balairung. Malam itu, UPGRIS tidak sekadar menampilkan pertunjukan, tetapi menghidupkan kembali semangat Ki Narto Sabdo—bahwa seni bukan hanya soal estetika, melainkan etika, dedikasi, dan cinta pada kebudayaan.
Melalui Mahakarya #7: Lestari di Panggung Tradisi, Sangkatama menegaskan misinya: menjaga nyala warisan budaya agar tetap hidup, lestari, dan diwariskan kepada generasi berikutnya. (Christian Saputro)


 
									 
					