Di balik ragam peristiwa budaya Kota Semarang yang terus mengalir, ada sosok tenang yang bekerja tanpa gembar-gembor, namun jejaknya terasa dalam: Saroso, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang. Ia bukan sekadar birokrat, melainkan anak panggung yang menjelma menjadi pengawal ruh kebudayaan kota dengan penuh kesungguhan.
Lahir dan besar di jantung Semarang, Saroso tumbuh bersama pentas-pentas rakyat. Ia mengenal degup gamelan lebih dulu ketimbang denting arloji. Panggung tradisional, klenengan, wayang kulit, dan pentas ketoprak adalah taman bermain masa kecilnya. Maka tak mengherankan bila ia tak sekadar memahami kebudayaan sebagai program kerja, tetapi sebagai denyut hidup yang melekat dalam darahnya.
Saroso meniti jalannya dari bawah: menjadi bagian dari komunitas seni, mementaskan lakon, mengorganisasi pertunjukan, hingga terlibat langsung dalam berbagai festival tradisi. Dunia seni pertunjukan membentuk cara pandangnya—bahwa budaya bukan benda mati yang dilestarikan dalam bingkai, melainkan kehidupan yang harus terus dihidupkan.
Ketika kemudian ia dipercaya memimpin bidang kebudayaan di kota ini, Saroso tidak sekadar menjalankan tugas administratif. Ia turun ke lapangan, mendengar dari para seniman, mengunjungi sanggar-sanggar kecil, dan merawat warisan tradisi dengan tangan terbuka. Dalam kepemimpinannya, budaya bukan sekadar aset, melainkan amanat.
Ia adalah ruh di balik program-program yang membuka ruang bagi komunitas. Mulai dari revitalisasi pentas tradisi, fasilitasi pelaku budaya, hingga dukungan terhadap ekspresi kontemporer yang tetap menghormati akar lokal.
Dalam tiap festival, tiap diskusi, tiap panggung jalanan seperti Wayang On The Street, Saroso hadir bukan sebagai pejabat, tapi sebagai kawan seperjuangan dalam menjaga nyala kebudayaan.
Saroso percaya, kebudayaan tak bisa hidup di menara gading. Ia harus hadir di jalan, di sekolah, di taman kota, di ruang interaksi warga. Semarang, bagi Saroso, adalah kota yang kaya kosmologi. Dan tugasnya adalah menjahit serpihan itu—agar tidak tercerai berai, agar menjadi pakaian utuh bernama identitas.
Dalam tutur katanya, selalu ada kesabaran. Dalam tindakannya, selalu ada tekad. Ia tak mencari sorot lampu, tetapi justru menerangi banyak panggung. Karena bagi Saroso, menjadi pengawal budaya adalah menjadi penjaga jiwa kota.
Program Cahaya Budaya: Menyalakan Semangat Seni di Jantung Kota Semarang
Di tengah denyut kehidupan Kota Semarang yang terus berlari dengan hiruk-pikuk urban, ada sebuah ruang yang tetap setia menjaga denyut kebudayaan: Taman Budaya Raden Saleh (TBRS). Tempat ini bukan sekadar bangunan dengan panggung dan kursi-kursi penonton, melainkan rumah besar bagi seni tradisi dan kreasi, tempat di mana generasi bertemu, berdialog, dan menyalakan imajinasi.
Namun, Saroso, S.Sn., Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, melihat bahwa TBRS tak boleh hanya menjadi ruang pasif. Ia harus menjadi titik cahaya yang menyinari masyarakat, menghidupkan tradisi, sekaligus membuka jalan bagi inovasi seni. Dari kesadaran inilah lahir sebuah gagasan bernama “Cahaya Budaya”—aksi perubahan yang mengupayakan optimalisasi pengelolaan seni budaya di Taman Budaya Raden Saleh.
Program ini hadir sebagai wujud nyata dari amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang menekankan pentingnya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan seni budaya. TBRS diposisikan sebagai etalase seni kota, tempat dokumentasi sekaligus pusat interaksi sosial. Wayang kulit, wayang orang, seni tari, musik tradisi, teater, sastra daerah, hingga kriya lokal—semuanya mendapat ruang untuk ditampilkan, didokumentasikan, dan diwariskan.
“Cahaya Budaya” bukan hanya jargon. Ia diwujudkan melalui langkah-langkah konkret: peningkatan fasilitas sarana-prasarana, penyusunan program-program kreatif yang ramah generasi muda, serta kerja sama lintas komunitas seni dan akademisi. Melalui sinergi itu, TBRS tak lagi sekadar menjadi panggung sesaat, melainkan ekosistem kebudayaan yang hidup, dinamis, dan inklusif.
Bagi Saroso, seni budaya harus dekat dengan masyarakat. Ia harus bisa dirasakan, diakses, dan menjadi kebanggaan bersama. Karena itu, “Cahaya Budaya” berfokus pada menghadirkan TBRS sebagai ruang ekspresi dan pembelajaran, tempat anak-anak sekolah bisa mengenal seni tradisi, remaja bisa bereksperimen dengan karya kontemporer, dan seniman senior bisa mewariskan pengetahuan mereka.
Di balik setiap aksi kecil—pementasan, lokakarya, pameran, hingga diskusi—“Cahaya Budaya” menyalakan obor: obor yang menerangi, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, tradisi dengan inovasi, generasi lama dengan generasi baru.
Kini, TBRS bukan hanya milik para seniman, tetapi milik seluruh warga Semarang. Dari ruang ini, kebudayaan tidak hanya dirawat, tetapi juga dirayakan. Dan seperti namanya, “Cahaya Budaya” adalah upaya agar seni dan kebudayaan di Kota Semarang terus bercahaya—menjadi penerang di tengah arus modernitas.
Semarang beruntung memilikinya—seorang birokrat yang masih berpikir sebagai seniman, dan seorang seniman yang menjabat tanpa pernah meninggalkan akar panggungnya. (*)




