Semarang — Di sebuah ruang Gedung Oudetrap, Kotalama, Semarang, belum lama ini, diskusi yang hangat pada gelaran Semarang Writers Week 2025, suara perempuan terdengar jernih, berlapis kisah, dan menyusup di antara percakapan tentang kota yang serba cepat. Program “Telisik Celah” menjadi pintu masuk untuk menyimak bagaimana perempuan, terutama dari pesisir, berjuang menegakkan diri di tengah arus pembangunan yang kerap melupakan tepian.
Di balik mikrofon, Sheira, salah satu penggiat, berbicara dengan nada yang lirih namun tajam. Ia bercerita tentang temannya di kampung pesisir, tentang bagaimana seorang perempuan harus bertahan hidup ketika wajah kota terlalu sibuk menengok pusat dan melupakan pinggiran.
“Kadang kehidupan pesisir itu diterpinggirkan,” ujarnya. “Pembangunan ada, tapi seringnya hanya di tengah kota. Padahal di desa, apalagi pesisir, perempuan harus bertahan dengan fasilitas yang jauh lebih terbatas.”
Diskusi bertajuk “Lapak Komunitas: Menjejak Perempuan di Celah Kota” menghadirkan Girl Up, BaraPuan, hingga Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI).
Mereka menuturkan, perempuan bukan hanya pengisi ruang rumah, tapi juga penopang kehidupan di jalan-jalan kecil, pasar, hingga dermaga yang jarang disorot media. Kehadiran mereka kerap sunyi, tetapi tak tergantikan.
Di kota seperti Semarang, mobilitas begitu padat, semuanya bergerak cepat. Namun cerita yang mengalir di forum ini mengingatkan, ada mereka yang berusaha bertahan di sela-sela riuh kota—para perempuan pesisir yang hidupnya tak sekadar menunggu, tapi terus berjuang di antara keterbatasan.
Semarang Writers Week kali ini seakan menghadirkan wajah lain dari sastra: bukan sekadar kata, melainkan jendela untuk melihat kenyataan yang sering disapu abai. Telisik Celah mengajarkan, sastra bisa menjadi ruang dengar bagi suara yang biasanya hilang dalam sorak pembangunan.
Dari ruangan itu, orang pulang bukan hanya dengan catatan literasi, tapi juga dengan ingatan: bahwa perempuan, dari kota hingga pesisir, selalu menemukan cara bertahan—meski sering kali mereka harus berjuang dari celah yang sempit. (Christian Saputro)




