Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Sumatera Post, tinggal di Semarang.
Sore itu, 1 Oktober 2025, langit Semarang sehabis hujan bagai lukisan lembut. Cahaya mentari yang meredup perlahan menyelinap ke dalam megahnya Holy Stadium, tempat di mana ribuan hati berkumpul, bersatu dalam satu irama: Konser Kebangsaan “Senandung Harmoni Membangun Negeri.”
Begitu pintu stadion terbuka, semerbak bunga papan ucapan selamat, suara riuh penonton, dan gemuruh langkah-langkah manusia dari beragam latar belakang mengisi udara. Di panggung utama, Yudi dan Anggie, dua pembawa acara yang hangat, menyapa dengan suara penuh semangat. “Selamat datang dalam persembahan lintas iman, lintas budaya, untuk Indonesia tercinta,” ucap mereka, menyalakan energi sejak detik pertama.
Simfoni Awal: Bendera, Doa, dan Ingatan
Tepat pukul 14.00, parade bendera berkibar megah, diiringi lagu Indonesia Raya yang dilantunkan dengan khidmat. Semua berdiri, dada mengembang, seolah merasakan kembali denyut nadi persatuan.
Tak lama kemudian, suasana berubah hening. Mengheningkan cipta dipimpin oleh MC, menghadirkan sepi yang penuh makna. Dari sudut tribun hingga panggung, setiap wajah menunduk, seakan berbicara dalam doa masing-masing, mengenang jasa para pahlawan.
Dan ketika lagu klasik Rayuan Pulau Kelapa mengalun, suasana pun melembut, menyatukan rasa cinta tanah air dalam melodi sederhana namun sarat makna.
Sambutan yang Menyatukan
Ketua Panitia, I Nengah Wirta Darmayana, membuka hati dalam sambutannya. Ia mengingatkan bahwa Semarang bukan hanya kota metropolitan, tetapi juga kota toleran yang mesti dijaga bersama. “Tidak ada persatuan tanpa kerukunan,” katanya tegas, sebelum menutup dengan harapan agar konser ini menjadi tradisi tahunan.
Disusul kemudian sambutan Wakil Wali Kota Semarang, Ir. H. Iswar Aminuddin, M.T.. Dengan bahasa yang puitis, ia menyamakan Semarang dengan sebuah orkestra: beragam instrumen, berbeda nada, tetapi bila dimainkan bersama melahirkan harmoni yang menggetarkan jiwa. Kata-katanya menggema, membuat sorak dan tepuk tangan penonton pecah di setiap sudut stadion. Rangkaian Penampilan: Dari Doa ke Tarian Jiwa Konser ini adalah perjalanan lintas iman dan budaya. Setiap segmen panggung menghadirkan warna berbeda: Katolik dengan lantunan Cintailah Sesamamu, sederhana namun menembus kalbu. Hindu lewat Tari Don Dadape Janger Abinaya yang gemulai, menghadirkan aura Bali di tengah Semarang.Islam menebar kesejukan lewat lagu Perdamaian. Buddha memanjatkan Hadirkan Cinta, lirih namun penuh pencerahan.Kristen dengan Kasih Pasti Lemah Lembut yang menghangatkan hati. Aliran Kepercayaan menampilkan Tarian Jiwa—persembahan yang tak hanya indah secara visual, tetapi juga metafora kebebasan batin.
Penampilan anak-anak dari Merby & Edu House lewat lagu dan tarian rakyat seperti Lancaran 45 menghadirkan keceriaan polos, simbol harapan bagi generasi mendatang.
Kolaborasi Lam Kuan dari Rasa Dharma dengan Surya Vista orkestra menggetarkan seluruh ruangan. Nada-nada etnik berpadu dengan aransemen megah, seakan menegaskan pesan: harmoni hanya bisa tercipta bila perbedaan dipeluk, bukan ditolak.
Puncak Emosi: Tanah Air dan Kebersamaan
Menjelang senja, konser mencapai klimaks. Tarian Penutup “Tanah Air” melibatkan puluhan penari dengan kostum berwarna merah-putih, bergerak serentak bagai gelombang samudra. Sementara itu, parade anak-anak SOINA dengan wajah penuh semangat menyalakan tawa sekaligus haru di antara penonton.
Sambutan perwakilan dari Kesbangpol Jateng menutup dengan kalimat sederhana namun menggugah: “Apapun warna rambut kita, apapun pakaian kita, kita semua satu: Indonesia.” Tepuk tangan panjang menggema, seakan menegaskan janji persatuan.
Dan akhirnya, semua pengisi acara, orkestra, penyanyi, hingga tamu kehormatan berkumpul di panggung. Lagu kebangsaan menggema sekali lagi, kali ini dengan suara ribuan orang yang bersatu: penyanyi, pejabat, anak-anak, umat lintas agama—semua menjadi satu suara.
Lebih dari Sekadar Konser
“Senandung Harmoni Membangun Negeri” bukan hanya konser musik. Ia adalah panggung doa, ruang perjumpaan, dan jembatan persaudaraan. Di tengah gegap gempita, penonton membawa pulang lebih dari sekadar hiburan: mereka membawa semangat toleransi, pesan cinta tanah air, dan keyakinan bahwa keberagaman adalah kekuatan terbesar bangsa.
Ketika lampu stadion padam dan penonton perlahan meninggalkan kursi mereka, satu hal terasa jelas: malam itu Semarang tidak hanya menyanyikan lagu-lagu indah, tetapi juga menyenandungkan pesan abadi—bahwa Indonesia hanya akan kuat bila berbeda-beda tetap satu jua. (*)




