Oleh Christian Heru cahyo Saputro, Jurnalis Penyuka Seni tinggal di Tembalang, Semarang.
Sebuah senja di bulan Agustus, Gedung Monod Huis di Kota Lama Semarang tampak seperti biasa: sepi, teduh, sedikit muram. Padahal di Gedung Mond Huis di lantai dua, ada pameran “Lawatan Jalan Terus” yang ditaja Art Labs dari Kolektif Hysteria, Semarang.
Dari luar, tak ada tanda-tanda hingar-bingar, seolah waktu di bangunan kolonial itu berjalan lambat. Namun, di balik pintu kayu tua, denyut berbeda sedang lahir. “Mau nonton pameran, Pak?” sapa seorang gadis volunteer dari Tangerang, menyodorkan leaflet pameran dengan senyum ramah.
Aku mengangguk, meski langkahku masih menunggu seorang konco kenthel , Agus Budi Santosa. Tak lama, wajah karibku itu muncul, dan kami pun segera menapaki tangga menuju lantai dua, tempat pameran “Lawatan Jalan Terus” berlangsung. Begitu kaki menginjak ambang pintu ruang pamer, denting musik samar bercampur riuh percakapan menyambut kami.
Di dalam, cahaya remang mempertemukan mata dengan karya-karya instalasi yang tak biasa. “Lumayan, ya, mirip suasana ArtJog,” celetuk Agus, masih segar dari lawatannya ke Yogyakarta. Aku tersenyum, menimpali: “Mungkin ini embrio Art Semarang. Setidaknya mitos Semarang sebagai ‘kuburan seni’ bisa mulai kita patahkan.”
Pameran ini bukan sekadar acara rutin, melainkan bagian dari perayaan 20 tahun perjalanan Hysteria, sebuah laboratorium seni yang telah lama mewarnai lanskap kebudayaan. Kurasi yang dihadirkan terasa seperti serangkaian fragmen perjalanan: arsip hidup, refleksi sosial, sekaligus tawaran masa depan.
Ada Susuhan Art Farm dengan instalasi “Gong Pernah Tinabuh” yang mengulik problem ruang publik di Brebes. Ada Brebes ArtDictive dengan wayang kulit kontemporer “Nek Netel Alase Kudu Ketel”, menyuarakan penolakan warga terhadap rencana tambang emas. Ada juga karya Ruang Atas Sukoharjo yang merefleksikan rapuhnya kolektif seni tanpa ruang permanen.
Di sudut lain, Prewangan Studio membawa kita ke Tuban, menyingkap dimensi tanah dan resistansinya sebagai musik; Noirlab Bogor menafsirkan budaya tutur menjadi sinema dan etalase; Serikat Suket Trenggalek menghadirkan “gogok”—ruang bertukar pikiran antar generasi. Karya-karya ini bukan sekadar estetika visual, melainkan denyut wacana, strategi bertahan, dan kisah perlawanan.
Bambang Toko Witjaksono, kurator Artjog dan seorang pegiat budaya, pernah berkata: setiap daerah punya peluang melahirkan perhelatan sebesar ArtJog, asal ada ekosistem, jejaring, dan kemauan untuk saling nyengkuyung. Dan pameran di Monod Huis ini adalah buktinya—bahwa Semarang pun sanggup menjadi medan seni yang hidup, bukan sekadar penonton kota lain.
Keluar dari ruang pamer, senja di Kota Lama tak lagi terasa sepi. Di dalam kepalaku, gema karya-karya itu terus berdengung. “Lawatan Jalan Terus” bukan hanya pameran seni, melainkan catatan bahwa budaya adalah perjalanan panjang—kadang berliku, kadang terjal, tapi selalu menyimpan harapan untuk terus melaju. Dirgahayu Kolektif Hysteria, Terus Melaju !(*)




