Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro *)
Semarang, Minggu pagi, 20 Juli 2025 — Langit belum benar-benar biru ketika halaman rumah di sudut Perum Kekancan Mukti mulai dipenuhi suara tawa, guratan pensil, dan harum nasi ayam dari grobakan. Di antara deretan sandal yang dilepas di depan pintu, dan kertas-kertas gambar yang terbuka di pangkuan, pagi itu Semarang Sketchwalk tak hanya menggambar. Mereka merayakan sebuah hal yang lebih dalam—persahabatan.
Bukan di galeri atau ruang seni, tapi di rumah pribadi, halaman, lingkungan, seorang pesketsa senior: Dr. Ir. Budi Sudarwanto, M.Si, dosen Universitas Diponegoro yang sejak lama jadi bagian dari denyut komunitas sketsa kota ini.
Di kediamannya yang teduh pemandangan pasar tumpah., Semarang Sketchwalk menggelar “nyeket bareng”, acara rutin yang tak pernah kehilangan daya pikat: menggambar bersama dan menjalin ikatan. Namun pagi ini, ada kejutan yang tak biasa. Tamu istimewa itu datang dari jauh, sangat jauh. Emmanuel Lemaire, komikus asal Perancis yang dikenal lewat karya “Tetanggaku Orang Indonesia”, tampak duduk di tikar dengan santai.
Di depannya, kertas putih dan tinta hitam, sementara di sekelilingnya para pesketsa lokal sibuk menekuni obyek—rumah, pohon, panci dapur, dan suasana akrab yang tak bisa direka ulang.
Tak ada jarak. Tak ada perbedaan. Emmanuel menyatu seperti air dalam gelas es teh. Kadang ia tersenyum, kadang berdiskusi hangat, membahas pendekatan visual dan pengalaman berkarya di Indonesia. Ia bukan bintang tamu, tapi teman seperjalanan.
Kehadirannya bukan kebetulan. Beberapa waktu lalu, Emmanuel sempat mampir ke Semarang dalam rangka tur delapan kota di Indonesia, memperkenalkan bukunya dan menggelar lokakarya komik strip. Saat itu, beberapa anggota Sketchwalk menjadi peserta dan benih persahabatan pun ditanam. Kini, benih itu tumbuh jadi pohon yang menaungi pagi ini.
Kiki Martaty W., Direktur Alliance Française Semarang yang turut hadir mendampingi Emmanuel, menyebut bahwa sang komikus datang kembali ke Semarang atas inisiatif sendiri. “Dia sangat terkesan dengan kota ini. Pulang dari tur, dia bilang ke saya: Je veux revenir à Semarang—saya ingin kembali ke Semarang,” ujar Kiki sambil tersenyum.
Dan kembalinya Emmanuel bukan hanya nostalgia, tapi pertemuan lintas budaya yang tulus dan membumi. Tanpa panggung, tanpa formalitas, hanya tikar sederhana, secarik kertas, dan hati yang terbuka.
Di sela aktivitas menyeketsa, aroma nasi ayam grobakan menguar dari dapur belakang. Pisang goreng berbagai topping—coklat, keju, dan gula kelapa—disajikan dalam kemasan hijau di atas meja. Segelas es teh menyegarkan tenggorokan, sementara jamu tradisional berwarna kunyit dan temulawak diseruput pelan oleh mereka yang rindu pada rasa-rasa lampau. Tak ada menu mewah, tapi semuanya penuh makna.
Sketsa demi sketsa pun lahir. Ada yang menangkap suasana dapur, ada yang menggambar wajah sesama pesketsa, ada yang menyelipkan bayangan Emmanuel di tengah lanskap halaman rumah Budi. Seni menjadi alat komunikasi lintas bahasa, lintas bangsa. Dan pagi itu, Semarang terasa seperti kota kecil di jantung Eropa yang hangat dan bersahaja. “Semarang itu seperti komik yang belum selesai,” ucap Emmanuel suatu saat.
“Setiap sudutnya punya cerita. Saya ingin ikut menggambarnya, perlahan-lahan, satu panel tiap kali datang.” Ucapannya diiringi tawa, tapi juga menyiratkan tekad: akan ada lembar baru dalam hubungan antara Emmanuel dan komunitas seni kota ini.
Dan mungkin, seperti harapan yang dilontarkan Kiki, suatu hari nanti Emmanuel dan Semarang Sketchwalk bisa berpameran bersama. Pameran tentang pertemanan, tentang sketsa sebagai jembatan budaya, dan tentang bagaimana sebuah kota bisa tinggal dalam hati seorang seniman asing seperti rumah sendiri.
Sementara itu, pagi itu tetap mengalir. Tinta mengering perlahan di kertas, teh tinggal separuh, dan matahari meninggi di atas Pedurungan Lor. Namun sesuatu telah terpatri: bahwa dalam dunia yang penuh hiruk, ada ruang kecil di mana manusia bisa berhenti sejenak, menggambar, dan menyapa dunia dengan cara yang paling sederhana—dengan tangan yang menggurat, dan hati yang terbuka. Akhirnya, kenangan pun dibekukan oleh bidikan kamera Koh Suwito. Merci infiniment, Semarang. Sampai bertemu di sketsa berikutnya.
*) Jurnalis tukang tulis dan motret suka persahabatan tinggal di Tembalang Semarang.