Semarang – Pagi di Semarang sering berembus pelan, seperti memberi jeda bagi kota untuk mengingat dirinya sendiri. Di sela bunyi lalu lintas dan sisa-sisa hiruk urban, Sri Paminto Widi Legowo—yang lebih dikenal sebagai Paminto Krisna—menyusun hari-harinya dengan ritme yang nyaris tak berubah: tubuh yang dilatih, panggung yang dirawat, dan kanvas yang didekati dengan sabar.
Ia lahir di Semarang, 8 Januari 1970, dan sejak usia belia telah memilih jalan yang tak ramai: jalan kesenian. Tahun 1984, ketika sebagian anak seusianya sibuk mengejar hal-hal lain, Paminto justru menekuri seni tari, menghafal gerak, memahami tubuh, dan belajar bahwa disiplin adalah bentuk paling sunyi dari cinta pada tradisi.
Rumah estetiknya menemukan bentuk paling kokoh ketika ia bergabung dengan Wayang Orang Ngesti Pandowo pada 1992—sebuah institusi yang tak hanya menyimpan sejarah panjang, tetapi juga memikul beban zaman. Sejak itu, panggung menjadi ruang hidupnya. Ia hadir sebagai aktor, koreografer, sutradara, sekaligus pelatih, mengolah lakon, merawat detail, dan menyemai generasi.
Namun Paminto tak pernah memandang wayang orang sebagai artefak yang harus disakralkan berlebihan. Ia justru merumuskannya dalam tiga kata yang sederhana tapi radikal: menyenangkan, senang, dan kesenangan.
Menyenangkan, baginya, adalah keberanian mengolah dramatika agar wayang orang mampu berbicara kepada penonton hari ini.
Senang adalah saat pertunjukan benar-benar hidup, menghibur tanpa kehilangan martabat.
Dan kesenangan—inilah puncaknya—adalah ketika wayang orang menjadi kebutuhan batin, ketika penonton datang bukan karena undangan, melainkan karena rindu.
“Kalau sudah menjadi kesenangan,” ujarnya suatu ketika, “wayang orang tak perlu lagi mencari penonton. Penontonlah yang akan mencarinya.”
Keyakinan itu lahir dari kegelisahan yang jujur. Paminto melihat bagaimana ruang-ruang pendidikan budaya dan budi pekerti kian menyempit. Dalam konteks itulah ia memandang wayang orang sebagai ruang publik yang representatif—tempat etika, adab, dan karakter Jawa dapat diajarkan bukan lewat ceramah, melainkan melalui pengalaman estetik yang hidup.
Di luar panggung, Paminto menemukan cara lain untuk mengendapkan gagasannya: seni rupa. Ia melukis dengan pendekatan realisme, sebuah pilihan yang mencerminkan sikap hidupnya—jujur, tekun, dan setia pada laku. Tema yang berulang dalam kanvasnya adalah burung-burung.
Burung-burung itu hadir dengan detail cermat: bulu yang rapi, sorot mata yang waspada, tubuh yang siap bergerak. Ia bukan sekadar objek alam, melainkan metafora kebebasan yang beradab. Burung Paminto tahu kapan terbang, kapan diam, kapan bernyanyi—seperti manusia Jawa yang ideal: eling, waspada, tahu tata.
Di kanvas, sebagaimana di panggung, Paminto menciptakan ruang hening. Lukisan-lukisannya terasa teatrikal namun tenang, seolah adegan tengah menunggu dialog. Kanvas menjadi panggung sunyi, tempat tubuh yang dulu bergerak kini menjelma garis dan cahaya.
Karya-karya itu sekaligus menjadi arsip estetik—menyimpan memori tentang wayang orang, latihan yang panjang, serta nilai-nilai seperti tepa selira dan andhap asor. Ia mengajarkan bahwa kebudayaan tidak selalu diwariskan lewat kata, tetapi bisa melalui gambar, gerak, dan rasa.
Ketika Anugerah Kebudayaan Jawa Tengah 2025 disematkan kepadanya dengan kategori Pelestari Budaya, penghargaan itu sejatinya hanya menamai sesuatu yang telah lama ia jalani: kesetiaan. Kesetiaan pada panggung, pada tubuh, pada nilai, dan pada keyakinan bahwa tradisi hanya akan hidup jika mau berjalan bersama zaman—tanpa kehilangan akarnya.
Di antara panggung wayang dan lukisan burung-burungnya, Sri Paminto Widi Legowo terus menjaga satu hal: agar kebudayaan tetap punya ruang untuk bernapas, bergerak, dan—seperti burung yang ia lukis berulang kali—terbang dengan sadar.
(Christian Saputro)




