Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Suatera Post tinggal di Tembalang, Semaang.
Di tengah hiruk-pikuk kota Semarang yang terus menua bersama sejarahnya, ada satu nama yang berdiri tenang namun berpengaruh: drg. Grace W. Susanto. Ia bukan hanya seorang dokter gigi yang telah mengabdikan hidupnya dalam bidang kesehatan, tetapi juga seorang pegiat budaya yang tekun menyulam ingatan kolektif dalam jejak langkah seni dan tradisi.
Lahir di Semarang, 2 Juli 1959, Grace tumbuh dalam ruang yang akrab dengan kesenian. Bagi dirinya, budaya bukan sesuatu yang jauh dari kehidupan, melainkan denyut yang menyatu dalam detak harian. Di balik jas putih dan ruang praktik yang steril, tersembunyi hati yang hangat pada wayang, keroncong, hingga pertunjukan rakyat yang nyaris dilupakan zaman.
Senyum dan Simfoni Tradisi
Sebagai dokter gigi, Grace dikenal dengan Terapi Gusi, sebuah metode yang ia gagas dan daftarkan HAKI-nya pada tahun 2011. Namun, lebih dari sekadar praktik medis, ia melihat profesinya sebagai bagian dari seni merawat manusia—baik tubuhnya, maupun perasaannya. “Senyum itu bagian dari ekspresi jiwa. Kalau senyumnya sehat, jiwanya ikut bahagia,” begitu filosofi yang ia hidupi.
Namun hidup Grace tidak hanya berhenti pada urusan klinik. Ia turut menjadi motor penggerak komunitas budaya di Jawa Tengah—memimpin Klub Merby, aktif dalam Pepadi Jawa Tengah, dan menjadi pembina Wayang Orang Ngesti Pandowo. Dalam banyak forum, Grace hadir sebagai jembatan antara dunia kesehatan dan kebudayaan. Ia menyebutnya “pelayanan dengan rasa”.
Budaya adalah Tindakan Harian
Tak ada panggung megah, tak ada lampu sorot—tetapi kerja budaya yang dilakukan Grace adalah bentuk tirakat seorang intelektual perempuan yang merawat warisan tak benda dengan ketulusan. Di bawah payung Klub Merb yang punya tagline Mencerdaskan Bangsa lewat budaya , ia menginisiasi diskusi budaya, program pelatihan seni, hingga menjadi tempat bertumbuh bagi generasi muda yang ingin mengenal akarnya.
Dalam segala kesederhanaannya, Grace adalah penjaga ruang antara. Ia hadir di batas-batas—antara medis dan seni, antara profesionalisme dan pengabdian, antara masa lalu dan masa depan.
Menulis Tak Hanya di Atas Kertas
Perjalanan Grace seolah ingin menunjukkan bahwa warisan bukan sekadar ditulis dalam buku, tetapi dihidupi dalam laku. Dari senyum pasien yang sembuh, dari panggung yang tetap menyala, dari cerita-cerita lama yang dibisikkan kembali di telinga anak muda, ia mengabadikan Indonesia dalam cara yang paling sunyi—dan justru paling abadi.
Maka dari itu, ketika kita bicara tentang tokoh pelestari budaya, jangan hanya cari nama di panggung megah atau lembaran koran. Lihatlah mereka yang bekerja diam-diam di balik ruang praktik, di balik rapat komunitas, di antara aroma cengkih dan gamelan yang tetap diputar tiap malam. drg. Grace W. Susanto adalah di antaranya.
Inisiator Wayang On The Street
drg. Grace W. Susanto adalah sosok di balik inisiatif Wayang on the Street (WOTS) ke-5, sebuah gerakan budaya yang membawa pertunjukan wayang orang keluar dari gedung megah dan turun ke ruang publik. Melalui WOTS, ia ingin wayang tak hanya menjadi tontonan elit, tapi bagian dari denyut kehidupan masyarakat.
Dengan latar belakang medis sebagai dokter gigi dan jiwa seniman yang melekat dalam dirinya, Grace menjembatani antara seni tradisi dan zaman kekinian. Ia tak hanya mengajak orang mencintai budaya—ia sendiri terjun: berkebaya, bersarung, bahkan ikut tampil dalam pementasan.
WOTS 5 menjadi wujud nyata semangatnya: menghadirkan panggung budaya di tengah kota, menyapa publik secara langsung, dan memberi ruang bagi regenerasi seni tradisi. Bagi Grace, budaya bukan sekadar warisan, tapi juga ajakan untuk kembali pulang—pada jati diri.
drg. Grace Widjaya adalah sosok yang layak disandingkan dengan Srikandi—bukan hanya karena keberaniannya, tetapi juga karena kecerdasannya dalam memperjuangkan eksistensi Wayang on the Street (WOTS). Di tengah tantangan zaman, ia tampil sebagai garda depan yang tak kenal lelah mengangkat kembali seni tradisi ke tengah masyarakat urban.
Tak sekadar mempopulerkan, Grace bergerak aktif mencarikan pendanaan, menggalang kolaborasi, dan menyusun strategi agar semakin banyak pihak merasa “handarbeni”— memiliki dan merawat—wayang orang. Ia tahu, pelestarian budaya tak bisa dikerjakan sendiri. Maka ia libatkan banyak pihak: dari wali kota, kepala dinas, bankir, jurnalis hingga pengusaha, bukan hanya sebagai penonton, tapi juga ikut naik panggung—menjadi bagian dari pertunjukan itu sendiri.
Lebih dari itu, Grace terus bersiasat agar WOTS menjadi ruang yang digandrungi generasi muda. Ia membuka kesempatan bagi anak muda untuk menjadi pemain, penata artistik, kreator konten, bahkan pembuat kostum dan naskah. Di tangannya, WOTS tak hanya jadi pertunjukan jalanan, tapi gerakan budaya yang hidup, bergerak, dan menulari cinta pada seni tradisi. (*)