Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro *)
Semarang – Sreet Art (seni jalanan) dalam hal ini mural belakangan mengemuka, tersebab beberapa mural di berbagai kota dihapus aparat yang melahirkan pro dan kontra, baik dari para pelaku street art maupun masyarakat di Indonesia.

Ketika yang lain ramai membincangkan street art sebagai media protes. Tetapi yang terjadi atmosfer jagad street art di Kota Semarang , begitu damai,“adem ayem”, bahkan tidur terlelap atau ini memang karakater para pengusung street art kota Atlas.
Rasa penasaran dan ingin membangkitkan para pekarya street art inilah yang melahirkan hajat ngobrol santai (ngobras) bertajuk : “Street Art Semarang Kehilangan Konteks ? ” yang dipandegani Arief “ HOKG” Hadinata dan Satrio” STOKEMAKI” Sudibyo.
Gelaran ngobras dihelat di markas Kolektif Hysteria, Grobak Art Kos, Stonen, Gajah Mungkur, Semarang, Sabtu (28/08/2021).
Acara ngobras yang dimoderatori Pujo “semogabarokahwerk” Nugroho menghadirkan nara sumber; Yake (Cah Mbuh), Polo Triuns (Stencil Artist/Teacher), Arief “ HOKG” Hadinata (Mural Artis) dan Satrio” STOKEMAKI” Sudibyo (Graffiti Writer) berlangsung gayeng.
Sekira pukul 19.30 WIB gelaran acara dimulai. Belasan seniman street art dari berbagai penjuru kota Semarang mengikuti gelaran ngobras dengan santai jagong lesehan.
Dibyo membuka gelaran obrolan mempertanyakan tentang kondisi Semarang yang seolah tertidur lelap sementara di kota-kota lain merespon tentang polemik mural yang mengemuka? “Ada apa dengan Semarang dengan seni jalanannya? Masih dibutuhkankah? Masih relevankah?,” ujar Dibyo yang dikenal dengan nama “Stokemaki” di dunia street art memantik obrolan malam itu.
Dibyo juga mengingatkan, untuk seniman street art Semarang, untuk terus berkiprah menjalani plihannya. Sedangkan untuk para atang baru street art untuk berani menikmati prosesnya, dijalanan agar merasakan ruhnya. “Saya pernah dipukul dan ditangkap bahkan ditahan aparat. Tetapi itu sebuah proses kreatif saya dalam menekuni street art,” ujar Graffiti Writer yang tak hanya berkarya di Semarang, tetapi hingga ngaprak di ibukota.
Menurut Hokg yang terjadi di dunia kesenian di Kota Semarang termasuk di street art, karena tingkat apresiasi masyarakatnya yang belum menggembirakan. Beberapa babagan perjalanan street art dikisahkannnya. “ Bahkan Semarang dulu punya “Taman graffiti”, ruang publik yang sengaja dibangun untuk para seniman street art untuk berkreasi dan berekspresi. Tetapinya nyatanya, gagal tak berjalan,” papar Hokg.
Hokg juga punya pemikiran untuk menggairahkan kehidupan berkesenian termasuk street art butuh dibangun eko sistem yang bisa menyokong tumbuhnya apresiasi dan muaranya seni dihargai. Menurut Hokg yang dibutuhkan agar kesenian bertumbuhkembang termasuk street art adalah edukasi agar masyarakat memiliki apresiasi terhadap kesenian.
“Kegiatan edukasi ini harus dimulai dari tingkat grass root agar stigma tentang street art berubah. Harapannya mereka bisa membedakan genre seni street art Hal inilah salah satu yang saya lakukan dengan Kolektif Hysteria dengan melakukan edukasi di kampung-kampung dengan memberi pembejaran tentang seni jalanan, tentang mural dan lainnya. Bahkan muaranya melibatkan mereka dalam berkarya,” ujar Hokg yang mengakrabi street art sejak dibangku SMP.
Pembicara lain, penekun seni jalanan Yake lebih membabar pilihannya sebagai seniman street art. Seni jalanan genre graffiti yang ditekuni merupakan ruang dalam mengekspresikan diri sekaligus dijadikan media “perlawanan”.
“Apa yang saya lakukan dengan seni lakukan untuk “having fun” alias kesenangan. Yang penting saya tumpahkan ekspresi dalam bentuk gambar, bahkan terkadang hanya coretan nama. Saya tak memikirkan orang bilang gambar saya jelek atau bagus,” ujar Yake yang juga berjuluk Cah Mbuh.
Menurut Yake, untuk jadi seniman street art butuh “mental”, untuk itu harus tahu dengan resikonya. “Mentalitas seniman seni jalanan harus tangguh. Siap digropyak aparat Pol PP, bahkan terkadang mengalami kekerasan dan kurungan. Itulah resikonya, tetapi saya melakukan dengan having fun,” ujarnya menyemangati para anak muda yang mau menekuni street art.
Sementara Polo Triuns salah satu Stencil Artist Semarang sarujuk dengan apa yang dikatakan, Yake, street art merupakan “seni perlawanan”. Tetapi Polo, mengaku, lebih memilih melakukan perlawanan dari “dalam” hingga, kini menjadi guru, tetapi semangat perlawan tak pernah henti.
Polo yang kini menjadi seorang pengajar di sebuah sekolah di Semarang mengatakan, street art memiliki beragam genre antara lain; ; grafiti, wheatpaste, stencil, dan mural. “Seni urban ini dinamai street art karena kepentingan gallery untuk mengangkat dan memamerkan karya seni jalanan ini,” terang Polo.
Polo juga mengatakan, untuk berekspresi di jalanan, membutuhkan ongkos alias biaya untuk membeli cat, plylok dan lainnya. Untuk itu, seniman street art butuh juga pekerjaan yang membuahkan penghasilan sehingga bisa mengongkosi kiprah ekspresinya dalam mengejawantahkan karyanya. “Istilahnya seniman street art harus punya dua perahu,” ujar Polo mengingatkan.
Sementara itu, Heri salah satu pelaku street art, mengatakan, sebenarnya tak perlu banyak ini itu. Ditegaskannya, bahwa seniman harus banyak berekspresi dengan berkarya. Seniman itu yang dinilai itu karyanya. “Bagaimana pu merawat cita-cita, tak semudah berkata-kata,” tandas Heri menyitir syair sebuah lagu bertajuk : “Gas” yang ditembangkan Stevi
kira pukul 22.00 WIB Pupung panggilan karib Pujo Nugroho selakuk moderator menutup gelaran ngobras. Tetapi audiens masih terus berlanjut hingga larut. Entalah apa para seniman seni jalanan Semarang bisa menemukan formula untuk menggugah agar street art kembali bergairah. What next, kita tunggu gebrakannya atau hanya berkelindan sebagai sebuah pertanyaan?
*) penulis seni dan budaya kini bermukim di Semarang.




