Oleh Bustami Zainudin
Anggota Komite II DPD RI
Sumaterapost.co | Jakarta – DI tengah dentuman industri dan desir angin di hamparan tebu Lampung, Sugar Group Companies (SGC) telah menjadi lebih dari sekadar produsen gula. Sejak 1983, ia tumbuh sebagai simfoni integrasi—menyatukan ekonomi, ekologi, dan manusia dalam satu nafas pembangunan. Di balik polemik yang sesekali mengemuka, data dan fakta mengungkap narasi lain: SGC adalah mitra strategis yang layak diapresiasi secara proporsional.
1. Denyut Nadi Ekonomi Lampung: 10.000+ Keluarga yang Tersenyum
SGC bukan hanya pabrik; ia adalah jantung penggerak ekonomi kerakyatan. Dengan empat pabrik terintegrasi (PT. Gula Putih Mataram, PT. Sweet Indolampung, dll.) , perusahaan ini menyerap puluhan ribu tenaga kerja langsung—belum termasuk ribuan pekerja di sektor pendukung seperti transportasi dan UMKM . Riset UGM (2011) membuktikan:
> 97% masyarakat sekitar menyatakan CSR SGC meningkatkan kesejahteraan mereka, membuka lapangan kerja, dan memicu jiwa kewirausahaan .
Tak sekadar angka, SGC membangun ekosistem berkelanjutan: dari upah kompetitif hingga sekolah bagi anak karyawan .
2. Penjaga Kedaulatan Pangan: 35% Gula Nasional Berkemasan “GULAKU”
– Ketika impor gula kerap mengancam stabilitas, SGC menjawab dengan kontribusi nyata:
Pemasok 35% gula nasional—setara dengan konsumsi 100 juta orang Indonesia .
– Inovasi _GULAKU_ (2002): merek gula kemasan pertama di Indonesia yang memadukan kualitas SNI, sertifikasi halal, dan keterjangkauan .
Ini bukan hanya bisnis; ini adalah komitmen menjaga piring rakyat tetap manis, sekaligus menghemat devisa negara lewat substitusi impor.
3. Eco-Innovator: Zero Waste Sejak Era Pra-SDGs
Langkah SGC jauh mendahului zaman. Sebelum “hijau” menjadi tren global, mereka telah memelopori prinsip zero waste selama 20 tahun:
– **Limbah tebu → listrik & pupuk**: Mengkonversi 100% produk samping menjadi energi terbarukan dan penyubur tanah .
– **Etanol ramah lingkungan**: PT. Indolampung Distillery mengubah molase menjadi bioetanol bernilai tambah tinggi .
Model ini tak hanya efisien, tetapi juga **blueprint industri berkelanjutan** yang diakui akademisi dan praktisi lingkungan .
4. Kemitraan yang Membumi: Dari Pendidikan hingga Kearifan Lokal
SGC memahami bahwa kemajuan industri harus sejalan dengan kemajuan manusia. Buktinya:
– **Pendidikan vokasi**: Sekolah dari TK hingga SMK bagi anak karyawan, kolaborasi dengan ITERA untuk magang dan riset .
– Pelestarian budaya: Dukungan Vice President SGC, Purwanti Lee, pada situs purbakala Las SengoQ di Tulang Bawang—merawat warisan Nughik sebagai “relasi manusia-alam” .
Di sini, korporasi tak hadir sebagai menara gading, melainkan teman duduk masyarakat Lampung.
5. Transparansi dan Harapan Ke Depan
Adalah wajar jika entitas sebesar SGC menghadapi ujian. Kasus hukum terkini menjadi ujian integritas sistem, bukan akhir dari segalanya. Publik menanti:
– Penyelesaian proses hukum secara adil dan terbuka .
– Sinergi multipihak (pemerintah, DPRD, korporasi) untuk menyelesaikan isu lahan secara win-win solution .
> **Catatan kunci**: Dukungan DPRD Lampung untuk pengukuran ulang HGU adalah langkah progresif menata kepastian hukum .
Penutup: Gula sebagai Jembatan
Sugar Group Companies adalah cermin industri yang bertumbuh bersama masyarakat. Ia bukan tanpa cela, tetapi kontribusinya—dari ketahanan pangan hingga ekonomi sirkular—adalah dasar kokoh untuk dibangun, bukan dirobohkan. Mari beri ruang bagi:
– Apresiasi atas 42 tahun dedikasi.
– Koreksi konstruktif demi peningkatan tata kelola.
– **Kolaborasi** untuk masa depan gula Indonesia yang berdaulat.
> **Pada akhirnya, gula SGC bukan hanya soal kristal putih di meja makan. Ia tentang harapan puluhan ribu keluarga, inovasi yang menyuburkan bumi, dan ketahanan bangsa yang tak boleh rapuh.** (ando).