Oleh. Dr. Hasbullah, M.Pd.I
Dosen Universitas Muhammadiyah Pringsewu
Sumaterapost.co.Di tengah pusaran birokrasi yang semakin rumit dan tantangan pembangunan yang kian kompleks, para pemimpin mulai dari Kepala Daerah, Anggota Dewan, hingga Menteri sangat bergantung pada satu sumber daya krusial Tenaga Ahli (TA). Mereka adalah “otak” di balik layar, para profesional yang seharusnya menyajikan peta jalan berbasis data dan analisis mendalam. Namun, di Indonesia, jabatan Tenaga Ahli sering berada di persimpangan jalan yang licin. Di satu sisi, mereka penjamin kualitas kebijakan; di sisi lain, rentan menjadi alat pembenaran bagi ambisi politik pimpinan. Pertanyaan utamanya: sejauh mana profesionalisme mereka dapat bertahan ketika berhadapan dengan “kehendak politik” yang berkuasa?
Secara definisi, Tenaga Ahli adalah individu yang direkrut karena memiliki kompetensi dan keahlian spesifik yang dibutuhkan pimpinan atau lembaga. Kehadiran mereka diatur dalam berbagai payung hukum, menegaskan bahwa jabatan ini bukan sekadar posisi fungsional biasa, melainkan vital dalam pengambilan keputusan strategis.
Peran utama Tenaga Ahli meliputi: 1). Policy Advisor (Penasihat Kebijakan): Melakukan telaahan, kajian, dan analisis strategis terhadap isu penting seperti dampak ekonomi suatu regulasi atau efektivitas program. Mereka harus memberi rekomendasi yang beralasan kuat, tanpa dipengaruhi sentimen pasar atau politik. 2) Peningkatan Kapasitas Kelembagaan: Terutama di lembaga legislatif, Tenaga Ahli membantu anggota dewan memahami draf undang-undang, laporan keuangan, atau skema pengawasan secara teknis, sehingga memperkuat posisi tawar lembaga. 3) Think Tank Pimpinan: Mengolah data dan memetakan risiko untuk memastikan keputusan pimpinan berbasis fakta, bukan sekadar intuisi atau opini.
Secara ideal, Tenaga Ahli berperan sebagai jembatan vital yang menghubungkan dunia akademik dan profesional dengan dunia politik praktis. Peran ini sangat penting karena Tenaga Ahli mampu mengintegrasikan pemikiran berbasis data dan keahlian teknis dengan dinamika politik yang berjalan. Dengan demikian, mereka berfungsi menetralkan potensi bias yang kerap muncul dalam proses pengambilan keputusan politik. Tenaga Ahli memastikan keputusan yang diambil lebih objektif, rasional, dan berlandaskan fakta, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak hanya pragmatis, tetapi juga berkualitas dan berkelanjutan. Penegasan ini menegaskan pentingnya keberadaan Tenaga Ahli sebagai elemen penyeimbang dalam politik guna mencapai hasil yang adil dan efektif.
Jebakan Politik, Ketika Profesionalisme Diperjualbelikan
Sayangnya, realitas sering jauh dari harapan. Isu utama yang menggerogoti independensi Tenaga Ahli adalah dominasi kepentingan politik pimpinan mulai dari rekrutmen sampai hasil kerja mereka. Pertama, Fenomena “Tim Sukses Berubah Posisi”. Posisi Tenaga Ahli sering kali menjadi “tempat parkir” bagi tim sukses atau relawan politik pimpinan. Pengangkatan berdasarkan loyalitas dan balas jasa ini meruntuhkan integritas jabatan. Saat Tenaga Ahli adalah mantan anggota tim kampanye, independensi untuk memberi kritik atau saran yang bertolak belakang hampir mustahil. Hasilnya, kajian kebijakan hanya menjadi alat pembenaran mutlak.
Selanjutnya, ‘Pesanan’ dan Arah Kajian yang Bias. Tenaga Ahli seharusnya memberikan analisis objektif, bahkan jika hasilnya tidak populer atau bertentangan dengan janji politik. Namun, sering kali mereka diminta menyusun kajian yang diarahkan untuk mendukung kepentingan pimpinan muluskan proyek strategis, kebijakan menguntungkan golongan tertentu, atau serangan politik terhadap lawan. Praktik ini membajak data dan sains demi agenda politik, merusak prinsip pengambilan keputusan berdasarkan kepentingan publik.
Terakhir, Beban Tugas Non-Keahlian. Banyak Tenaga Ahli diseret melakukan pekerjaan di luar keahliannya, seperti mengurus agenda pribadi pimpinan, bertindak sebagai juru bicara politik, atau menangani administrasi. Ini membuang anggaran negara untuk pekerjaan yang bukan tugas utama mereka, sekaligus menguras waktu tenaga ahli dari fungsi strategisnya.
Ketika profesionalisme Tenaga Ahli dikalahkan oleh kepentingan politik, dampaknya meluas dan menggerogoti prinsip good governance. Salah satu dampak utamanya adalah kebijakan yang tidak tepat sasaran. Masukan yang bias menghasilkan kebijakan keliru, seperti pembangunan yang lebih berpihak pada investor dekat pimpinan daripada berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat atau analisis sosial dan lingkungan. Hal ini menyebabkan alokasi sumber daya menjadi tidak efektif dan tidak mengakomodasi kepentingan publik secara luas.
Dampak lain yang muncul adalah pemborosan anggaran, terutama ketika menggaji Tenaga Ahli yang tidak kompeten dan lebih berfungsi sebagai alat politik. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk program pembangunan bermanfaat malah terbuang sia-sia. Selain itu, erosi kepercayaan publik pun terjadi karena masyarakat semakin skeptis terhadap kebijakan yang dianggap lahir dari kepentingan sempit, bukan akal sehat dan fakta. Kondisi ini menciptakan siklus ketidakpercayaan dalam proses pemerintahan, yang akhirnya melemahkan legitimasi pemerintah di mata masyarakat.
Jalan Keluar, Mengembalikan Otonomi Profesional
Jalan keluar untuk mengatasi dilema profesionalisme Tenaga Ahli yang terkikis oleh kepentingan politik adalah dengan mengembalikan otonomi profesional melalui reformasi struktural dan perubahan mentalitas. Pertama, rekrutmen harus berbasis meritokrasi dengan seleksi yang dilakukan oleh panitia independen, mengedepankan standar kompetensi yang ketat dan transparan, serta menyingkirkan afiliasi politik atau kedekatan pribadi sebagai faktor penentu. Kontrak kerja juga harus jelas dan independen, mencantumkan target output profesional sambil melindungi kebebasan Tenaga Ahli dalam menyampaikan fakta, termasuk yang tidak populer, tanpa takut konsekuensi politik.
Selain itu, pengawasan publik dan media memiliki peran penting dalam menjaga integritas kerja Tenaga Ahli melalui akses transparan terhadap data dan hasil kajian, serta perbandingan dengan sumber independen. Komitmen pimpinan menjadi faktor kunci keberhasilan, di mana pemimpin harus bijak menerima nasihat terbaik meskipun berpotensi menantang kekuasaan sendiri. Pemimpin yang profesional memandang Tenaga Ahli sebagai aset kualitas yang mendukung kebijakan tepat sasaran, bukan sebagai alat politik semata. Dengan langkah ini, governance yang baik dapat terwujud secara berkelanjutan.
Tenaga Ahli harus berperan sebagai mercusuar objektivitas di tengah gejolak politik yang kerap memecah konsentrasi pemerintahan. Mereka mewakili nalar, data, dan profesionalisme yang menjadi landasan bagi pengambilan keputusan yang rasional dan berbasis bukti. Ketika posisi ini masih sering menjadi korban kepentingan politik sempit, maka pemerintahan akan berjalan berdasarkan asumsi dan kepentingan pribadi, bukan atas dasar pengetahuan yang valid dan kebutuhan publik yang sesungguhnya. Hal ini tidak hanya merugikan proses kebijakan, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Mengembalikan martabat dan independensi Tenaga Ahli menjadi langkah fundamental bagi kemajuan Indonesia. Dengan menghargai peran mereka sebagai pelopor kualitas dan obyektivitas, pemerintahan dapat dikelola dengan akal sehat yang menempatkan kepentingan publik di atas segala ambisi kekuasaan. Investasi pada profesionalisme Tenaga Ahli berarti membangun fondasi pemerintahan yang kuat dan berkelanjutan, sehingga terwujud tata kelola negara yang transparan, bertanggung jawab, dan akuntabel untuk masa depan bangsa yang lebih baik.(ndy)




