Oleh: Redaktur Budaya Sumatera Post tinggal di Tembalang Semarang
Malam itu, Minggu, 14 September 2025, langit Kota Lama Semarang berselimut lembayung, seolah memberi restu pada sebuah pentas yang tak hanya menjadi pembuka Festival Kota Lama (FKL) ke-14, tetapi juga membuka pintu kenangan, kehangatan keluarga, dan napas budaya yang mengalir lintas generasi.
Di Panggung Wayang On The Street (WOTS) “Sang Pinilih”, garapan Budi Lee dan Paminto Krisna, sebuah tarian menggetarkan ruang dan waktu: Tetesing Warisan Papat Turunan. Bukan tari biasa—melainkan fragmen hidup yang dijalin dengan cinta, gerak yang mengikat darah dan jiwa, dari Eyang Buyut hingga Cicit.
Sebuah Persembahan Jiwa
Dibawakan oleh keluarga besar Ibu Murahmi (88 tahun)—seniman lawas yang telah menjadi saksi pergeseran zaman—tarian ini hadir sebagai persembahan jiwa. Empat generasi menari bersama. Saling menyambut gerak, saling mengalirkan makna. Dari tangan renta hingga jemari mungil cicit, semua menyatu dalam irama yang senyap namun dalam.
Tari ini tidak hanya menghibur, tetapi membisikkan makna: bahwa warisan budaya adalah air yang terus menetes, tidak pernah putus, menyuburkan hati dan tanah yang ditinggali.
Satu Garis Lurik Tradisi
[L Dan dalam setiap tetes itu, budaya menemukan keabadiannya.
Gerakan mereka sederhana, tanpa gemerlap koreografi rumit. Namun setiap langkah menyimpan kisah. Setiap lambaian adalah doa yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dari tancep kayon hingga ngudhar rasa, tubuh-tubuh itu menjadi medium peralihan zaman—lurik batik, rambut disanggul, dan mata yang menatap penuh cinta.
Penghargaan untuk Penjaga Warisan
Sebagai bentuk penghormatan, panitia memberikan penghargaan khusus kepada keluarga Ibu Murahmi—bukan semata karena usia, tetapi karena dedikasi yang tak tergoyahkan untuk menjaga seni tari sebagai warisan hidup. Di samping itu, Bintang Hanggoro Putra, penggiat Tari Semarangan, juga menerima penghargaan atas kiprahnya menghidupkan kembali denyut tari lokal yang nyaris pudar.
Lebih dari Sekadar Tari
Tetesing Warisan bukan sekadar tarian. Ia adalah pernyataan. Bahwa budaya bukan benda mati yang dipajang di museum, melainkan sesuatu yang tumbuh, mengalir, dan dibagikan dari satu pelukan ke pelukan lainnya. Dalam tubuh keempat generasi itu, kita menyaksikan bahwa seni adalah rumah—dan setiap rumah butuh dijaga, dirawat, dan dihidupi.
Malam itu, di bawah temaram lampu Kota Lama, kita belajar bahwa tari bisa menjadi kitab, bisa menjadi jembatan, bisa menjadi warisan yang lebih awet dari batu dan baja: warisan rasa. (Christian Saputro)




