Semarang – Kelurahan Ngijo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang menjadi salah satu desa wisata dalam Program Kampung Tematik yang diresmikan oleh mantan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi.
Dikenal sebagai Kampung Tematik Jamruk (Jambu-Jeruk), potensi Kelurahan Ngijo menjadi desa wisata yang berfokus potensi buah, berkembang menjadi banyak varian tanam lain.
Selain itu, Kelurahan Ngijo juga memiliki tradisi seni dan budaya yang masih erat dipertahankan oleh warga setempat. Salah satunya adalah Sadranan.
Menurut Eko Siswanto, selaku Ketua RT 02, kesenian tradisi di Kelurahan Ngijo mengalami kondisi naik-turun dan timbul-tenggelam karena beberapa faktor. Salah satunya karena tidak adanya penerus.
” Dulu pernah ada, kesenian Ketoprak tapi kini sudah tidak ada karena banyak anggotanya meninggal dan transmigrasi,” kata Eko Siswanto.
Kini Kelurahan Ngijo lanjutnya, Hanya ada Paguyuban Reog dan Kuda Lumping yang dipimpin oleh Bapak Rabono. Kelompok tersebut biasannya tampil hanya saat penyelenggaran acara 17 Agustusan di tingkat rukun tetangga (RT) saja.
Tidak hanya penerus, keterbatasan biaya untuk mengurus dan merawat properti, membuat dua kesenian tersebut tergolong mahal untuk sekali main dalam sebuah acara. Sehingga, tak jarang sepi penanggap.
“Kalau tradisi yang masih ada dan rutin saat ini adalah Sadranan. Biasanya dilaksanakan di Bulan Rajab, hari Kamis Wage. Sadranan menjadi ritual rutin warga Ngijo, untuk mendoakan dan takziah ke makam leluhur kampung. Ialah Kiai Asari, seorang pendiri Kampung Ngijo.” beber Eko.
Seperti pelaksanaan Sadranan pada umumnya, lanjut Eko, para warga yang mayoritas beragama islam melakukan wudhu sebelum melakukan takziah dan ‘bancaan’ dengan menyembelih 50 ekor kambing di Sarean Setono.
Di Ngijo, imbuh Eko, terdapat dua sendang yang disebut dengan Sendang Wedok dan Sendang Lanang. Di Sendang Wedok itulah, para peserta Sadranan biasanya akan mengambil air wudhu.
Melihat fenomena tradisi tersebut, Kolektif Hysteria melalui Platform PekaKota lantas menginisiasi festival kampung bertajuk “Mula Bukaning” yang digelar di Kelurahan Ngijo, penggal akhir pekan lalu.
Nella Ardiantanty Siregar, selaku Program Manager Platform PekaKota.Festival “Mula Bukaning” tak hanya pertunjukan tradisi dan seni modern, juga menggelar forum diskusi terkait keberadan sendang sebagai salah satu sumber daya alam yang wajib dilestarikan, serta hubungannya dengan ritual dan tradisi yang melekat di sekitarnya.
“Berawal dari Tradisi Sadranan tersebut, lantas melihat potensi lain di Ngijo, jadilah kami mencoba ikut serta melestarikan adanya Sendang Sentono.
Namun juga tak meninggalkan adanya ritual lokal dan kepercayaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat,” kata “Oleh karena itu, agenda awal kemaren adalah reresik sendang dan dilanjutkan degan forum diskusi bertemakan ‘Memaknai Sendang Meski Zaman Tak Lagi Sama’,” ujar Nella.
Menurut Nella, penyadaran akan pentingnya menjaga keberadaan sumber mata air perlu dimiliki oleh warga setempat. Sekaligus pemahaman terhadap tradisi ritual yang dilakukan di Sarean Setono.
“Bagaimana kita sebagai manusia modern menyikapi adanya tradisi, seperti Sadranan yang mana itu dilakukan di Sarean Sentono dan rutin setiap bulan Rajab. Di mana ada rututan ritual untuk berwudhu terlebih dahulu dari aliran air di sendang,” jelasnya.
Nella menambahkan keberadaan sendang itu penting adanya sebagai sumber mata air. Seperti di Ngijo ada dua sendang, Sendang Lanang dan Sendang Wedok. Nah kondisi Sendang Lanang ini sudah mulai mengecil saat ini. Secara singkat, Nella menyebut bahwa pelestarian alam bisa dibalut dengan berbagai tradisi yang tidak jauh dari kesenian dan kebudayaan.
Sehingga masyarakat setempat bisa mempertahankan kekayaan alam yang dimiliki kampungnya, sekaligus nguri-nguri tradisi lokal.
“Jika dari keterangan Pak Eko, salah satu tokoh masyarakat di sini yang juga ketua RT O2, itu bisa jadi salah satu contoh ya. Bagaimana dinamika timbul-tenggelamnya kesenian tradisi di Ngijo,” ujar Nella.
Oleh karena itu, lanjtnya, berharap dengan adanya festival rakyat seperti yang Kolektif Hysteria lakukan di beberapa titik kelurahan dan atau kampung di Kota Semarang, bisa menumbuhkan kembali potensi seni dan budaya di masing-masing tempat.
“Di setiap titik, memiliki potensi seni dan tradisinya masing-masing. Termasuk potensi sumber daya alamnnya sendiri. Itu yang kami fokuskan,” tandas Nella.
Purwarupa Program yang digelar Kolektif Hysteria masuk dalam Event Strategis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI, melalui Program Dana Indonesiana.(Christian Saputro)