Bandar Lampung, 11 Desember 2025 — Di sebuah ruang pertemuan Alodia Hotel Lampung, Kamis pagi itu, suara-suara dari berbagai latar—tokoh agama, tokoh adat, aktivis perempuan, hingga perwakilan keluarga dan komunitas—berbaur menjadi satu tekad: memastikan anak-anak Lampung tumbuh tanpa harus kehilangan masa depannya karena perkawinan usia dini.
Perkawinan usia di bawah 19 tahun masih menjadi masalah yang menghantui banyak pekon dan kota di Provinsi Lampung. Meski Undang-Undang Perkawinan telah menetapkan usia minimal 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan, realitas di lapangan tidak sesederhana teks hukum. Tekanan adat, tradisi, kemiskinan, hingga minimnya pengetahuan keluarga tentang risiko perkawinan anak membuat praktik ini tetap berlangsung—sering kali tanpa suara penolak dari lingkungan sekitar.
DAMAR, organisasi yang sejak 2023 menggerakkan berbagai program penguatan perempuan dan keluarga di Lampung, menyebut bahwa anak perempuan merupakan pihak yang paling rentan. Putus sekolah, kehamilan berisiko tinggi, kekerasan dalam rumah tangga, serta lingkar kemiskinan yang diwariskan antargenerasi adalah ancaman nyata yang dihadapi mereka. Namun yang lebih mengkhawatirkan, keputusan untuk menikahkan anak kerap dianggap sebagai solusi, bukan masalah.
Dalam paparannya, tim Perkumpulan DAMAR memotret dinamika sosial yang kompleks: bagaimana norma adat, persepsi keagamaan, dan tekanan sosial sering kali menjadi alasan orang tua “mengamankan” masa depan anak. “Padahal, justru dengan menikahkan anak di usia terlalu muda, mereka kehilangan masa depan yang sebenarnya,” demikian disampaikan dalam sesi pembukaan.
Kesadaran akan pentingnya perspektif agama dan adat mendorong DAMAR untuk merangkul dua kelompok strategis tersebut. Tokoh agama dan tokoh adat, menurut DAMAR, adalah figur yang paling didengar oleh masyarakat. Mereka menjadi tempat bertanya, tempat meminta restu, sekaligus penentu arah kebijakan tak tertulis dalam banyak keluarga.
Pada diskusi panel, Bapak Sukandi dari MUI Lampung menggarisbawahi bahwa Islam memiliki prinsip perlindungan terhadap anak melalui maqashid syariah—menjaga jiwa, akal, dan keturunan. “Menunda perkawinan bukan berarti melawan agama, justru bentuk menjaga kemaslahatan. Perkawinan anak yang membawa mudarat harus dicegah,” ujarnya.
Sementara itu, Ibu Khalida dari PW Muslimat NU menekankan peran tokoh agama perempuan yang selama ini dekat dengan jamaah dan keluarga di tingkat akar rumput. “Banyak keputusan keluarga bergantung pada percakapan di majelis taklim, pertemuan ibu-ibu, atau konsultasi keagamaan informal. Di sanalah suara perempuan sangat menentukan,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan DAMAR dalam sambutannya menegaskan bahwa perjuangan melawan perkawinan anak bukan sekadar urusan hukum atau kesehatan, tetapi juga tanggung jawab sosial, moral, budaya, bahkan religius. “Ketika tokoh agama dan adat berbicara, keluarga akan mendengar. Ketika mereka menegaskan bahwa masa depan anak harus dilindungi, masyarakat akan bergerak bersama,” tegasnya.
Pertemuan ini tidak hanya menghasilkan dialog, tetapi juga memperkuat komitmen bersama untuk memastikan bahwa setiap anak di Lampung mendapat kesempatan tumbuh, belajar, dan bermimpi tanpa tergesa-gesa memasuki dunia dewasa. Upaya kolaboratif antara DAMAR, MUI, organisasi perempuan NU, serta para tokoh adat dan keluarga menjadi harapan baru untuk memutus rantai perkawinan anak di provinsi ini.
Dengan kerja sama lintas nilai, lintas keyakinan, dan lintas struktur komunitas, Lampung sedang menata langkah untuk memastikan masa depan yang lebih layak bagi generasi muda. (Christian Saputro)




