Semarang — Pameran Wayang Anak Bangsa yang digelar dalam rangka tujuh tahun Sanggar Monod Laras di Monod Huis, Kota Lama Semarang, menegaskan pentingnya pewarisan pengetahuan dan literasi seni pedalangan kepada generasi muda. Tidak sekadar memamerkan wayang kulit, kegiatan ini menghadirkan proses belajar, apresiasi, dan pemaknaan wayang sebagai seni bernilai filosofi yang mendalam dan relevan dengan perkembangan zaman.
Pamong Sanggar Monod Laras Semarang, Ir. Tjahjono Rahardjo, dalam sambutannya mengutip maestro dalang Ki Manteb Sudarsono, “Wayang iku tontonane wong pinter.” Menurutnya, ungkapan tersebut tidak merujuk pada tingkat pendidikan formal, melainkan pada bekal pengetahuan tentang wayang yang harus dimiliki penonton agar mampu meresapi pesan-pesan lakon. Ia juga mengutip pepatah Jawa, “golek banyu apikulan warih, golek geni adedamar,” yang bermakna bahwa setiap pencarian membutuhkan bekal. Tanpa pemahaman, kata Tjahjono, wayang kerap hanya dinikmati sebatas hiburan lawak, nyanyian, dan tarian dalam adegan limbukan.
Berangkat dari pemahaman itu, Sanggar Monod Laras secara konsisten membekali anak-anak dan remaja dengan pengetahuan seni pedalangan. “Harapannya, meski kelak mereka tidak menjadi dalang profesional, mereka tumbuh sebagai pribadi yang memiliki apresiasi terhadap wayang kulit, apa pun profesi dan posisi mereka,” tegas Tjahjono di tengah arena pameran.
Pameran Wayang Anak Bangsa menampilkan koleksi wayang kulit Sanggar Monod Laras yang disusun dalam rangkaian adegan terpilih dari berbagai lakon. Setiap adegan tidak hanya menghadirkan keindahan visual, tetapi juga menghidupkan cerita melalui komposisi tokoh, gestur, dan hubungan dramatik.
Wayang ditampilkan sebagai teater filsafat yang menyampaikan nilai moral sekaligus keluwesan dalam menghadapi perubahan zaman.
Elemen penting pameran ini tampak pada kehadiran wayang-wayang kesayangan para siswa serta wayang buatan mereka sendiri. Tokoh-tokoh pilihan mencerminkan keterikatan personal dan nilai yang mereka hayati, sementara karya buatan siswa menunjukkan proses kreatif dari bahan sederhana—mulai dari pemahaman bentuk, ornamen, hingga simbolisme tokoh. Karya-karya tersebut menegaskan bahwa generasi muda tidak hanya mewarisi, tetapi juga menafsirkan ulang tradisi.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang yang diwakili Kepala Bidang Kebudayaan, Saroso, S.Sn., menilai keterlibatan generasi muda dalam pameran dan pagelaran wayang sebagai bukti bahwa tradisi pedalangan terus hidup. Hal itu terlihat dari pagelaran wayang kulit yang melibatkan 40 dalang anak Sanggar Monod Laras, yang digelar sebagai bagian dari peringatan tujuh tahun sanggar tersebut.
“Pagelaran ini menunjukkan bahwa wayang kulit tidak berhenti sebagai warisan masa lalu, tetapi terus tumbuh melalui praktik langsung di tangan generasi muda. Keberanian anak-anak tampil di panggung adalah hasil dari proses belajar yang panjang, disiplin, dan penuh pendampingan,” ujar Saroso.
Ia juga mengapresiasi pameran yang dirancang sebagai wahana edukasi publik. Berbagai aspek seni pedalangan diperkenalkan kepada masyarakat, mulai dari struktur lakon, fungsi karakter, teknik penggerakan wayang, filosofi warna dan ornamen, hingga peran gamelan sebagai penguat suasana dramatik. Dengan pendekatan tersebut, wayang dipahami bukan semata sebagai benda budaya, melainkan sebagai sistem pengetahuan yang menghubungkan seni, sejarah, etika, dan nilai spiritual.
Pameran Wayang Anak Bangsa yang berlangsung pada 20–28 Desember 2025 ini juga dilengkapi dengan workshop wayang kulit dan kegiatan mewarnai wayang yang terbuka gratis untuk umum. Selama tujuh tahun perjalanannya, Sanggar Monod Laras terus menegaskan komitmennya merawat tradisi dengan cinta—menjadikan wayang hidup, dipahami, dan relevan di tangan generasi muda. (Christian Saputro)




