Semarang, 8 Agustus 2025 — Di Gedung Oudetrap, Kota Lama Semarang, ruang diskusi budaya terasa hangat dan hidup. Direktur Gambang Semarang Art Company (GSAC), Tri Subekso, menutup acara dengan sebuah pernyataan reflektif: “Kita memaknai warisan budaya peranakan sebagai warisan bersama—yang melampaui batas-batas ras dan kesukuan.”
Pernyataan tersebut menjadi ruh dalam diskusi budaya bertajuk “Festival Cheng Ho: Warisan Budaya Peranakan dalam Tradisi Multikultural Semarang”‘. Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian Festival Bubak Semarang 2025, yang mengangkat kembali khazanah budaya Semarangan, mulai dari sejarah kota, kesenian rakyat, hingga legenda yang membentuk identitas kebudayaan urban Semarang.
Menurut Tri Subekso, pertemuan budaya Tionghoa dengan budaya lokal telah menghasilkan tradisi multikultural yang tidak hanya lestari, tetapi juga kaya secara estetik dan spiritual. Gambang Semarang, salah satu warisan seni peranakan yang masih hidup, menjadi bukti nyata dari proses akulturasi tersebut. Begitu pula dengan berbagai perayaan Cap Go Meh, tradisi Sam Poo Tay Djien, dan berbagai ekspresi budaya lain yang menjadi milik bersama masyarakat Semarang lintas identitas.
Diskusi ini bukan hanya penggalian sejarah, tapi juga upaya memperkuat identitas kota sebagai ruang hidup multikultur. Festival Bubak sendiri hadir sebagai wadah sinergi antara seniman, budayawan, masyarakat, dan generasi muda, melalui beragam kegiatan seperti pertunjukan, lomba bercerita, pameran ruang publik, jelajah kampung, serta workshop budaya.
Dari ruang diskusi ini, Semarang kembali mengukuhkan diri sebagai kota yang tidak hanya merawat warisan, tetapi juga terus mencipta—dengan keberagaman sebagai kekuatannya. (Christian Saputro)