Semarang – Pada Sabtu (26/07/2025) malam yang hangat, panggung Taman Budaya Raden Saleh menjadi ruang sakral bagi perjalanan panjang) Ngesti Pandowo —kelompok wayang orang yang telah mengabdi kepada budaya selama 88 tahun. Malam itu bukan sekadar perayaan, tetapi pernyataan: bahwa tradisi Jawa masih berdiri gagah, menatap masa depan tanpa kehilangan akar.
Rangkaian acara dimulai pukul 19.00 WIB dengan tarian pembuka Kebyok Anting-Anting dari Sanggar Lestari, disusul oleh Tari Batik dari Sanggar Kareista, dan Ngoser, sebuah tari kreasi penuh energi dari Sanggar Lestari. Iringan karawitan Sanggar Seni Mardayu menambah kedalaman suasana, menyatukan gerak dan bunyi dalam satu harmoni rasa.
Pukul 19.50 WIB, Ngesti Pandowo menghadirkan dolanan wayang dan prosesi kirab—sebuah simbol pembukaan panggung sakral. Tak hanya pagelaran, malam itu juga menjadi momentum penting dengan diluncurkannya program “Cahaya Budaya” oleh Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Semarang Wing Wiyarso Poespojoedho mewakili Walikota Semarang, sebagai ikhtiar mengoptimalkan pengelolaan seni budaya di TBRS dengan memukul Gong guliran program yang dinisiasi Kabid Kebudayaan Disbudpar Saroso.
Setelah sambutan-sambutan, pemotongan tumpeng dilakukan sebagai simbol rasa syukur. Denting talu menandai dimulainya puncak malam: Pagelaran Wayang Orang dengan lakon Satru Darah Barata.
Lakon ini mengisahkan konflik keluarga Wangsa Barata—Pandawa dan Kurawa—yang merefleksikan pertarungan nilai dalam kehidupan: antara cinta dan kekuasaan, antara dharma dan ambisi.
Dibalut tata artistik yang memukau dan koreografi khas dari Paminto Krisna, serta pengarahan panggung oleh Budi Lee, pertunjukan ini menjadi napas baru dari tubuh yang telah lama hidup: tubuh kebudayaan Jawa.
Pagelaran Wayang Orang Ngesti Pandawa dalam rangka Mangayubagya Hari Ulang Tahun ke -88 yang mengusung lakon : “Satru Darah Barata” ini disutradarai Budi Lee, Asisten Sutradara: Sunarno, Koreografer: Sri Paminto Widi Legawa, Asisten Koreografer: Ayok Pertiwi, S.Sn., Dewi Wulansari, S.Pd., M.Sn., Mochamad Fajri Fadhilah, S.Tr., S.Pd., Komposer: Sugianto, M.Sn., Asisten Komposer: Sihanto, Penata Kostum dan Rias: Mochamad Fajri Fadhilah, S.Tr., S.Pd., Dewi Wulansari, S.Pd., M.Sn., dan Herliyanti. Pagelaran didukung Laskar Muda Ngesti Pandawa, Sanggar Kusuma Wiratama, Sanggar Sobokartti, Sanggar Lestari, Sanggar Kareista, Sanggar Kusuma Jati, Tirang Community, Sekar Arum, Perwira Budaya, dan Sanggar Seni Mardayu, Gedung Ki Narto Sabdo dan Taman Budaya Raden Saleh
Konflik Keluarga Pandawa – Kurawa
Lakon Satru Darah Barata menggambarkan bara permusuhan yang tak kunjung padam di tubuh Wangsa Barata—dua garis darah agung yang terpecah dalam bayang-bayang takhta dan harga diri: Pandawa dan Kurawa.
Meski berasal dari akar yang sama, benih dendam telah lama tumbuh sejak masa kanak-kanak. Kini, dendam itu menjelma menjadi percikan api besar yang menyulut kehancuran. Duryudana, pemimpin Kurawa, merasa takhta Hastinapura miliknya terancam oleh kembalinya Pandawa dari pengasingan. Di sisi lain, Yudistira dan saudara-saudaranya yang menjunjung dharma terus dipancing masuk ke medan konflik.
Intrik istana, bisikan licik para penasihat, dan luka-luka lama yang belum sembuh, berpadu menjadi simfoni tragis penuh pertarungan batin. Lakon ini bukan hanya kisah perebutan kuasa, tapi juga refleksi tentang bagaimana darah yang sama bisa saling menumpahkan, ketika ego dan dendam lebih tinggi dari cinta dan pengampunan.
Dalam babak-babak yang mencekam, Satru Darah Barata mengajak penonton merenung: adakah perdamaian mungkin tumbuh dari tanah yang telah dibasahi darah sendiri? Ataukah sejarah harus kembali berulang hingga generasi berikutnya belajar dari luka?
Dengan semangat yang tak luntur, Ngesti Pandowo meneguhkan posisinya bukan hanya sebagai penjaga tradisi, tapi pelanjut peradaban. Karena di balik setiap gerak, suara, dan kisah yang dipentaskan, ada kesetiaan pada tanah, leluhur, dan cita masa depan.
Ya, semboyan “Ngesti Pandowo” m asih ada dan tetap dijaga hingga kini: “Hamot Yuwono, Handowo Mukti” yang artinya: “Menghimpun kekuatan, menuju kemuliaan.”
Semboyan ini mencerminkan semangat Ngesti Pandowo dalam merawat seni budaya wayang orang sebagai kekuatan batin dan warisan luhur bangsa, dengan tujuan membawa masyarakat pada nilai-nilai kemuliaan, kebijaksanaan, dan kebaikan hidup. Ngesti Pandowo, masih ada ! (Christian Saputro)




