Semarang – Angin senja di Sayangan, Semarang, Minggu (14/9), membawa kabar yang tak biasa. Di halaman Gedung Yayasan Kanisius, sebuah panggung sederhana bersiap menampung pertemuan dua dunia: Barat dan Timur.
Arnaud Kokosky Deforchaux, Direktur Artistik Festival Tong Tong Fair di Den Haag, Belanda, akan tampil dalam lakon Wayang On The Street berjudul “Sang Pinilih”. Sutradara Budi Lee mempercayakan Arnaud pada peran Patih Tameng Yudha—sebuah keputusan yang mengejutkan sekaligus meneguhkan misi budaya yang ia jalani.
Tak berhenti di panggung, Arnaud baru saja menerbitkan buku “Geen Gewone Danser tussen West en Oost” (Bukan Penari Biasa: Setara Barat dan Timur). Buku ini menandai perjalanan setengah abadnya di dunia tari, sekaligus menjadi catatan perenungan bahwa tubuh penari bisa menjadi jembatan antara sejarah, identitas, dan masa depan.
Lahir di Belanda dari darah campuran Jawa, Semarang, Surabaya, hingga Rusia, Arnaud mengaku menemukan rumah artistiknya bukan pada balet atau jazz—yang pernah ia tekuni—melainkan pada tari Bali dan Jawa. “Setiap gerak punya makna, bukan sekadar bentuk. Dari tarikan napas hingga senyum di pelipis, semua adalah kode budaya,” ujarnya dalam sebuah perbincangan.
Keterlibatan Arnaud di dunia seni Indonesia bukan perkara sambilan. Ia mengkurasi diskusi soal film kolonial, memandu percakapan tentang trauma sejarah, hingga menghidupkan dialog antara masa lalu dan masa kini. Kini, lewat lakon Srikandi yang ia kagumi, Arnaud melihat wayang orang sebagai simbol emansipasi perempuan Indonesia, sebuah inspirasi yang menyeberangi batas geografi maupun bahasa.
“Di Belanda, banyak yang mengira perempuan Indonesia lemah. Padahal kenyataannya, mereka kuat dan berdaya sejak dulu. Srikandi adalah lambang itu,” tuturnya.
Momen di Semarang ini bukan hanya panggung pentas, tapi juga ruang perjumpaan. Arnaud menganggap tampil bersama komunitas lokal ibarat pulang ke keluarga. Baginya, budaya bukan barang museum yang hanya dijaga, melainkan akar yang harus ditumbuhkan hingga berbuah dan berbunga. “Kalau tak ada akar, bunga hanyalah plastik,” katanya penuh filosofi.
Ke depan, Arnaud masih membawa misi panjang. Ia tengah menyiapkan Pasar Indonesia, festival budaya yang akan digelar di Belanda pada 2026. Harapannya, bukan hanya tarian dan musik klasik yang tampil, tapi juga kreasi modern—dari fashion hingga musik kontemporer—agar dunia melihat Indonesia dari ragam wajahnya.
“Semoga yang menonton merasa terinspirasi. Kalau orang Belanda saja mau main wayang orang, mengapa tidak kita sendiri bangga pada budaya kita?” ucapnya menutup perbincangan.
Di bawah lampu-lampu kota lama Semarang, peran Patih Tameng Yudha yang dimainkan Arnaud bukan sekadar akting. Ia menjelma sebagai simbol: bahwa di tengah silang identitas dan sejarah, seni adalah bahasa yang membuat semua orang sama. (Christian Saputro)