Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni tradisi tinggal di Semarang.
Senja baru saja merayap di langit Semarang ketika gamelan mulai bergaung di depan Gedung Yayasan Kanisius. Kawasan Kota Lama yang biasanya tenang, tiba-tiba berubah menjadi panggung rakyat. Lampu sorot menyapu dinding kolonial berlumur sejarah, dan di tengah kerumunan, suara sinden menyeruak, mengundang langkah kaki untuk mendekat. Inilah Wayang On The Street “Sang Pinilih”, suguhan budaya yang kembali menghidupkan denyut Festival Kota Lama ke-14.
Malam itu, Kota Lama bukan sekadar ruang wisata, melainkan altar tempat seni dan kebersamaan dirayakan. Jalan menjadi panggung, penonton jadi keluarga besar, dan tradisi kembali menemukan rumahnya.
Empat Generasi Menari dalam Warisan
Pertunjukan dibuka dengan sebuah tarian langka: Tetesing Warisan Papat Turunan. Dari panggung sederhana di jalanan beralas aspal, empat generasi keluarga Ibu Murahmi (88 tahun) menari bersama.
Eyang buyut, anak, cucu, hingga cicit menyambung gerak yang berbeda gaya, namun satu jiwa.
Gerak lambat penuh wibawa sang buyut beradu lembut dengan langkah lincah cicit yang baru belajar dunia. Dari tetesan gerak itu, penonton menyaksikan sebuah pernyataan: seni bukan sekadar keterampilan, melainkan kehidupan itu sendiri. Air mata menetes di pipi beberapa penonton, menyaksikan bagaimana tari bisa menjadi jembatan antarwaktu, pengikat darah sekaligus pengingat jati diri.
Usai tarian, panggung memberikan penghormatan. Keluarga Ibu Murahmi menerima penghargaan sebagai penjaga warisan budaya, sementara nama Bintang Hanggoro Putra dielu-elukan sebagai penggiat tari Semarangan yang kembali menghidupkan tarian Denok di kota ini.
Srikandi yang Dipilih
Lakon utama malam itu mengangkat kisah Sang Pinilih—Srikandi, prajurit perempuan yang berani melawan stigma dengan Sutradara Bude Lee dan koreografer Paminto Krisna.
Di bawah cahaya lampu yang menimpa wajah para pemain Ngesti Pandowo, Srikandi hadir bukan sekadar sebagai tokoh pewayangan, tetapi sebagai cermin zaman. Dengan busur di tangan, ia menantang medan Kurusetra yang berdarah. Ia menghadapi Bisma, senopati yang disegani, dengan keberanian tanpa pamrih demi tegaknya kebenaran.
Srikandi bukan hanya kisah masa lalu. Ia adalah wajah perempuan yang memilih jalan berbeda di tengah pakem yang mengekang. Di antara stigma bahwa perempuan hanya pantas berada di balik layar, Srikandi justru melangkah ke medan perang. Keberaniannya tidak lahir dari ambisi pribadi, melainkan dari pengabdian pada kebenaran.
Dalam kaca mata hari ini, Srikandi adalah metafora perempuan modern: pemimpin yang tidak takut berhadapan dengan kekuasaan, pekerja keras yang menembus stigma, dan penjaga nilai yang tetap setia pada kelembutan nurani. Ia adalah cermin bagi para perempuan Indonesia—bahwa keberanian dan kasih sayang bisa berjalan seiring, bahwa modernitas tak harus melepaskan akar tradisi, dan bahwa suara perempuan adalah bagian penting dalam cerita bangsa.
Walikota di Panggung Wayang
Panggung semakin semarak ketika sosok yang tak biasa muncul: Walikota Semarang, Agustiana Wiluyeng Praestuti, yang memerankan Sang Hyang Wenang. Dengan luwes ia berdialog, bahkan berimprovisasi menyelipkan program-program kota di tengah percakapan dengan Sang Kresna yang diperankan Paminto. Penonton terkekeh ketika Sang Kresna dengan cerdik “merayu” walikota agar lebih memperhatikan kesenian, khususnya Wayang Orang.
Improvisasi itu bukan sekadar banyolan panggung, melainkan janji yang ditancapkan di depan publik. Sang walikota pun memanggil Kadisbudpar, Wing Wiyarso, yang mendampinginya di atas panggung, dan memberi instruksi agar bantuan untuk kesenian segera digulirkan. Malam itu, wayang tak hanya menjadi pertunjukan, melainkan juga ruang politik budaya yang hidup.
Guestar dari Belanda
Kejutan lain datang dari sosok yang menyeberangi benua: Arnaud Kokosky Deforchaux, aktor asal Amsterdam sekaligus Direktur Pasar Indonesia di Belanda. Arnaud, yang pernah menimba ilmu di STSI Denpasar, tampil sebagai Patih Tameng Yudha. Dengan pakem tari Bali, geraknya tegas namun lentur, mencampurkan disiplin Barat dengan ruh Timur. Penonton bersorak kagum, menyaksikan bagaimana wayang bisa menjelma lintas budaya, mengikat Indonesia dengan dunia.
Parade Simbol dan Harapan
Tak kalah memikat adalah parade reno-reno wayang. Anak-anak mengibarkan Merah Putih, Garuda Pancasila melintas gagah, gamelan bertalu diiringi sinden, hingga wayang potehi Tionghoa menyatu dalam harmoni. Semua hadir: dari wayang suket yang bersahaja, hingga wayang angkrek yang diusung ibu dan anak.
Parade itu seakan menegaskan: keberagaman adalah satu tubuh. Wayang, dengan segala bentuk dan rupa, adalah cerita rakyat yang tak mengenal sekat agama, etnis, maupun usia.
Lebih dari Sekadar Hiburan
Stage Manager, Krisna Priyastika, menutup dengan kalimat yang membekas: “Wayang On The Street bukan sekadar hiburan, tetapi ajakan untuk mencintai, menjaga, dan melestarikan warisan budaya Nusantara.”
Dan benar adanya. Malam itu, di depan Gedung Yayasan Kanisius yang berdiri anggun sejak masa kolonial, Semarang bukan sekadar kota tua dengan bangunan bersejarah. Ia menjelma ruang hidup tempat sejarah, seni, dan masyarakat berpadu.
Wayang On The Street “Sang Pinilih” menjadi saksi bahwa budaya bukan barang museum. Ia hidup, bernapas, menari, berimprovisasi, bahkan berpolitik. Dan selama ada generasi yang mau menonton, memainkan, serta merayakan, maka tetesan warisan itu takkan pernah kering. (*)