Sumaterapost – Langkat | Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sumatera Utara, Dr Suprayitno MHum, tampil sebagai narasumber dalam kegiatan Pembinaan Sejarah bagi Generasi Muda Sumatera Utara, yang dilaksanakan di Aula Gedung STKIP Al-Maksum, Kabupaten Langkat, Jumat (26/11/2021) pagi.
Kegiatan ini sendiri terselenggara atas kerjasama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara dengan MSI Cabang Sumatera Utara, Program Studi Ilmu Strata 1 Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sumatera Utara (USU), dan STKIP Al-Maksum, Kabupaten Langkat.
Dalam materi berjudul “Sejarah Lokal dan Pembangunan Karakter Bangsa”, Suprayitno, menyatakan, memahami sejarah lokal sama dengan memahami karakteristik dan jati diri suatu bangsa. Karena itu pemahaman sejarah lokal tidak boleh dianggap sebelah mata, mengingat berbagai kearifan lokal dan pengalaman kolektif banyak ditemukan dalam sejarah lokal.
“Sejarah itu berperan penting dalam mengatasi problematika kekinian, dan ini sangat dibutuhkan untuk membangun dan memperkuat karakter generasi muda,” terang Akademisi USU itu, di hadapan 100 peserta, yang terdiri dari para staf pengajar dan mahasiswa.
Dalam acara dipandu Zulham Siregar SPd MA, selaku moderator, serta dihadiri Ketua STKIP Al-Maksum, Dr Muhammad Sadri MM, dan Kaprodi Pendidikan IPS, Kahar Mashuri SSos MSi, Suprayitno menyebut, pentingnya belajar sejarah harus dilihat dari dua aspek.
Aspek pertama, katanya, sejarah sebagai ilmu pengetahuan tentu saja berguna untuk seorang individu (intrinsik), yang berguna untuk mengetahui masa lampau, sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan sejarah sebagai profesi.
Sedangkan aspek kedua ialah kegunaan sejarah di luar seorang individu (ekstrinsik).Dalam hal ini, penulisan sejarah berguna sebagai pendidikan, meliputi pendidikan moral, penalaran, politik, kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan, ilmu bantu, latar belakang, rujukan, dan bukti.
“Ketika kelompok keluarga, klan, atau suku bangsa, mencari riwayat masa lampaunya untuk melestarikan identitas kelompoknya dan memperkuat daya tahan kelompok itu, maka penulisan sejarah telah berperan efektif sebagai peneguhan nilai atau pelajaran moral,” ujar Suprayitno.
Terkait pendidikan sejarah yang diajarkan di sekolah, mulai dari tingkat SD, SMP, hingga SMA, menurutnya, hal itu dimaksudkan untuk memberikan tolak ukur kepada siswa tentang baik atau buruk, boleh atau tidak boleh, merdeka atau terjajah, cinta atau benci, serta berani atau takut, dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara.
Selain itu, sambung Suprayitno, penulisan sejarah juga berguna sebagai pendidikan penalaran bagi para siswa dan masyarakat luas. Sebab seorang yang belajar sejarah tidak akan berpikir secara mono-kausal atau menganggap sebab terjadinya suatu peristiwa hanya dipicu oleh satu faktor.
“Padahal sebenarnya sejarah itu bersifat dinamis, karena berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, mulai dari sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, psikologis, dan lain sebagainya, yang saling mengikat dan menciptakan suatu rangkaian peristiwa,” terangnya.
Di sisi lain, lanjut Suprayitno, pemahaman sejarah lokal justru menjadi tolak ukur bagaimana sebaiknya siswa atau masyarakat bersikap dan bertindak dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman sejarah para pendiri bangsa.
Dengan memahami sejarah lokal, maka masyarakat, terkhusus para siswa, tidak akan menjadi asing di daerahnya sendiri dan lebih memahami peranan daerahnya dalam membentuk fondasi negara dan kebudayaan suatu bangsa.
“Dengan begitu, sejarah lokal berfungsi sebagai faktor yang dominan dan menjadi pengawal dalam proses pembangunan karakter dan jati diri suatu bangsa,” jelas Suprayitno.
Namun untuk membangun karakter suatu bangsa, maka pengetahuan sejarah jangan diberikan sebagai informasi yang bersifat faktual saja, melainkan ditujukan pula untuk membangkitkan kesadaran sejarah.
Sebab menurut Suprayitno, dengan kesadaran sejarah yang tinggi maka seseorang akan menyadari bahwa dirinya adalah anggota sebuah komunitas masyarakat atau bangsa. Hal ini disebut pula sebagai kesadaran kolektif, yang mampu membentuk rasa kebersamaan dan dilambangkan sebagai identitas atau jati diri.
“Ingat, bangsa Indonesia terbentuk karena adanya kemauan bersama, serta teritorial dan sejarah yang sama. Oleh karena itu, apabila bangunan negara dan bangsa ini sudah mulai oleng, kita mesti mencari jawaban pada tiga komponen ini, khususnya sejarah,” serunya.
Meskipun demikian, Suprayitno tetap mengingatkan seluruh elemen masyarakat, terutama para generasi muda, bahwa pembangunan karakter bangsa bukan sepenuhnya domain guru sejarah dan para sejarawan, tetapi juga diperlukan peranserta dan dukungan dari semua komponen bangsa.
Walaupun dia mengakui, guru sejarah menjadi ujung tombak dalam usaha mengembalikan jati diri bangsa, namun harus pula disadari bahwa rontoknya karakter bangsa juga diakibatkan arus globalisasi budaya modern dan teknologi informasi yang tumbuh cepat.
Di samping itu, perlu pula dilakukan perbaikan dan penyempurnaan moral dan sikap keteladanan para pimpinan negara. Sebab krisis moral dan keteladanan yang buruk para pejabat negara, juga turut meningkatkan peluang kehancuran karakter bangsa.
“Jadi, pada dasarnya ada tiga upaya penjajah untuk menghancurkan karakter dan jati diri suatu bangsa. Pertama, kaburkan sejarahnya. Kedua, hancurkan bukti-bukti sejarahnya. Ketiga, putuskan hubungan suatu bangsa dengan leluhurnya,” ujar Suprayitno. (andi)




