Sumaterapost.co | Sumut – Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sumatera Utara, Dr Suprayitno MHum, menilai, penetapan hari jadi Kota Binjai perlu kajian akademis yang lebih komprehensif. Upaya ini penting dilakukan agar peringatan hari jadi Kota Binjai memiliki relevansi secara historis.
“Tahun 2017 lalu, persoalan ini sebenarnya sudah pernah diseminarkan. Tapi memang belum ada tindaklanjutnya sampai sekarang,” ungkapnya kepada wartawan, Kamis (12/05/2022) siang, menyikapi kontroversi penetapan hari jadi Kota Binjai yang bertepatan dengan peristiwa Perang Sunggal pada 17 Mei 1872 silam.
Menurut Dosen Program Studi Strata 1 dan Srtata 2 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sumatera Utara (USU) tersebut, berdasarkan pertimbangan historis memang kurang tepat menjadikan peristiwa Perang Sunggal sebagai dasar penetapan hari jadi Kota Binjai.
Sebab jauh sebelum itu, katanya, nama Binjai sendiri sudah disebutkan dalam catatan perjalanan John Anderson, seorang petualang asal Britania Raya yang datang ke Sumatera Timur pada 1823 silam.
Bahkan dalam catatan perjalanan John Anderson yang telah dibukukan dengan judul “Mission to the East Coast of Sumatra in 1823,” diceritakannya bahwa Binjai merupakan sebuah bandar perdagangan yang ramai, dengan lada atau merica sebagai komoditas ekspor utama menuju Selat Malaka.
“Pada dasarnya Sunggal dan Binjai itu tidak saling berhubungan dan menjadi dua wilayah yang berbeda. Sebab Binjai itu masih bagian dari Kesultanan Langkat. Sedangkan Sunggal sendiri kita ketahui bagian dari Kesultanan Deli,” terang Suprayitno.
Dia justru menilai keputusan atas penetapan Perang sunggal sebagai dasar hari jadi Kota Binjai lebih kepada pertimbangan heroisme (kepahlawanan) dan besarnya sikap antipati terhadap segala hal yang berkaitan dengan kolonialisme Belanda di Sumatera Timur.
Oleh karena itu dia meminta Pemerintah Kota Binjai agar mencontoh beberapa kabupaten/kota yang telah merevisi penetapan hari jadi daerahnya. Sebut saja misalnya pemerintah Kota Tebingtinggi, yang sudah melakukan kajian ulang terhadap sejarah hari jadi daerahya.
“Jadi harus ada dasarnya dulu. Tapi tetap saja untuk mengkaji sejarah suatu kota, kita harus medefinisikan terlebuj dahuku arti kota itu seperti apa. Apakah bentuknya itu kota tradisional, atau berupa kota bandar, atau kota kolonial,” ujar Suprayitno.
(Andi)




