
Semarang – Helat yang ditaja Komunitas Cipta Damai , Bengkel Sastra Taman Maluku, (BeSTM) dan Satupena Jawa Tengah peluncuran dan buku Kumoulan Puisi Bertajuk : “Merayakan Perjumpaan dengan Sang Ada” karya Esthi Susanti Hudiono dan Novel karya Sulis Bambang berjudul : “Oase di Neraka” berlangsung dengan meriah dan gayeng, Gelaran dimeriahkan dengan melukis on the spot oleh perupa Finalis UOB Painting of The Year 2022 Sogik Prima Yoga asal Kabupaten Semarang.
Kegiatan budaya yang ditaja di Gedung Monod Diephuis, Jl. Kepodang, Kawasan Kota Lama, Semarang Jumat, (26/05/2023) ini dihadiri sejumlah penulis, sastrawan, dan aktivis tak hanya dari Kota Semarang tetapi dari berbagai kota antara lain; Kendal, Salatiga dan Surabaya.

Ketua BeSTM Sulis Bambang dalam sambutannya mengatakan sangat mengapresiasi kehadiran para sastrawan dan sahabat sastra yang hadir dalam hajat ini.
“Kegiatan peluncuran dan bedah buku kali ini sekaligus untuk merayakan peristiwa budaya tradisi “Tumbuk Ageng” penanda di usia 64 tahun Esthi Susanti Hudiono yang jatuh pada tanggal 26 Mei. Mudah-mudahan senantiasa mbak Esthi sehat dan bisa merayakan “Tumbuk Ageng” kedua saat berumur 10 Windu atau di usia 80 tahun nanti, ” ujar Founder BeSTM.
Bambang Iss Wirya mewakili Satupena Jawa Tengah mengatakan, ikut senang dan bangga dengan peluncuran buku “Merayakan Perjumpaan dengan Sang Ada” karya Esthi Susanti Hudiono.
“Selamat dating di dunia sastra, Bu Esthi ini bersama saya sama-sama bergiat di Satupena Jawa Tengah. Mudah-mudahan akan lahir karya-karya sastra dari tangan bu Esthi yang berikutnya, ” ujar Bambang Iss mantan jurnalis yang juga dikenal banyak menulis buku.
Selanjutnya, Yanti S Sastro Prayitno menembangkan Dandang Gulo mengawali diluncurkannya buku bertajuk : “Oase di Neraka” karya Sulis Bambang oleh Owner Penerbit Gigih Pustaka Mandiri Budi Maryono.
Kemudian berlanjut acara peluncuran dan bedah buku bertajuk : “Merayakan Perjumpaan dengan Sang Ada” yang sekaligus perayaan “Tumbuk Ageng “ sang penulis Esthi Susanti Hudiono dengan ditandai dengan ritual tiu lilin.
Pada kesempatan itu, Esthi mengatakan, “Tumbuk Ageng” nya dirayakan sebagai moment yang digunakannya untuk mengutuhkan energi yang nyaris padam karena trauma.
“Energiku kini pulih sepenuhnya dan telah dimurnikan oleh peristiwa transendensi. Dua transendisi telah terjadi yakni loncat dari dunia fana dengan masuk dunia spiritual. Kelahiran ulang ego oleh peristiwa transendensi ini memungkinkan terjadi pelampauan lembaga pemegang otoritas yang menentukan siapa diri seseorang,” beber Esthi lantang.
Lebih lanjut, dikatakannya, ada ruang untuk diri tampilkan karya apa adanya untuk ikut menformat nilai hidup bersama dengan ruang hidup untuk minoritas dari berbagai perspektif. Pemikiran dan tindakan alternatif diperlukan untuk atasi kebekuan yang terjadi.
Menurut Esthi istilah narator lebih tepat ketimbang penulis karena narator menyampaikan peristiwa apa adanya dengan menghilangkan unsur diri dan kelekatan pada kepentingan termasuk titipan kepentingan pemilik narasi besar.
“Aku ingin menjadi narrator hidup dan kehidupan untuk peradaban Indonesia yang lebih baik untuk semuanya. Bentuk kerja narator yang kubayangkan adalah menulis dalam aneka bentuk (puisi, biografi, artikel) dan berdialog terus menerus serta bernegosiasi,” ujar Esthi menyampaikan harapannya sebelum tiup lilin “Tumbuk Ageng”.
Sedangkan Myra Diarsi dalam bedah buku menyampaikan menurut pandangangannya Esthi memantau cara batinnya bekerja. Dia berselancar mengikuti alun mentalnya. Proses mawas diri menggenapi 8 windunya itu menghadiahi rasa bertujuab mengADA.
“Karya-karya puisi yang ada dalam kumpulan puisi seperti percakapan Esthi pada dirinya sendiri. Ini yang tak dimiliki oleh generasi kini yang asik dengan gadget. Tak pernah bicara dengan batinnya,” tandas Aktivis Feminis Padepokan GAIA yang sudah mengenal Esthi sejak tahun 80-an.
Sebelum ditutup dengan foto bersama sahabat-sahabat sastra Esthi Susanti Hudiono membacakan puisi-puisi yang ada dalam buku kumpulan puisi ““Merayakan Perjumpaan dengan Sang Ada”. (Christian Saputro)