Monod Laras, Wahana Belajar Karawitan dan Pedalangan Untuk Anak-anak

Sabetan - Jagat Dita sedang mempraktekan sabetan dalam gladen, Minggu (29/08/2021)

Semarang – Perkumpulan Karawitan dan Pedalangan “Monod Laras” bermarkas di gedung Monod Diephuis Huis di Jalan Kepodang 11-13 di Kota Lama, Semarang, Jawa Tengah.

Perkumpulan Karawitan dan Pedalangan “Monod Laras” ini diresmikan bersamaan dengan diresmikannya Gedung Monod Diephuis sebagai Pusat Berkesenian di Kota Lama.

Suluk – Guwarsa salah satu pengampu Monod Laras sedang mengajarkan suluk kepada salah satu siswa dalam gladen, Minggu (29/08/21) ( Christian Saputro)

Peresmian dilakukan Direktur Kesenian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Dr. Restu Gunawan M.Hum, pada 10 November 2018, sekaligus memperingati Hari Wayang Sedunia yang dilakukan setiap tanggal 7 November.

Ketua Perkumpulan Karawitan dan Pedalangan “Monod Laras”, Tjahjono Rahardjo mengatakan, Monod Laras didirikan dalam rangka melestarikan dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan.

Perkumpulan Karawitan dan Pedalangan “Monod Laras” memberikan ruang pembelajaran bagi anak-anak tentang dunia karawitan dan pedalangan. “Nama Monod Laras punya arti; Laras mempunyai makna harmoni sedangkan Monod menunjukkan gedung tempat sanggar ini bermarkas. Diharapkan dengan belajar seni hidup bisa berjalan selaras, ” terang lelaki low profile dan ramah ini.

Lebih lanjut, Tjahjono Raharjo, berkisah, muasal berdirinya Sanggar Monod Laras. Pada awalnya kami latihan pedalangan berpindah-pindah, karena tak punya tempat latihan jadi pinjam ke sana sini.

“Tiba-tiba pada suatu waktu pak Agus Suryo Winarto, pemilik gedung Monod Huis membeli seperangkat gamelan dan wayang. Kemudian pak Agus mengajak dan memberikan kami ruang untuk berlatih mengembangkan seni pedalangan di gedung Monod DiepHuis,” beber Tjahjono Rahardjo yang juga dikenal sebagai pengamat heritage.

Lebih lanjut, Tjahjono mengatakan, Sanggar Monod Laras sudah berjalan hampir 4 tahun. Sebelum ada pandemi Covid 19, Monod Laras punya jadwal latihan atawa gladen rutin karawitan dan pedalangan setiap hari minggu dari pukul 10.00 WIB – pukul 14.00 WIB. “Kemarin karena PPKM sempat diliburkan. Mulai Minggu ini gladen berjalan lagi, tentu dengan Prokes yang ketat,” imbuh Tjahjono.

Sedangkan sebagai pengampunya; Supono Jepang mengajar Suluk dan Karawitan, Guwarsa tutor Wayang (Sabet), dibantu Slamet sebagai pengendang dan Tri Lestari yang mengurus administrasi . Yang menggembirakan kini setidaknya tercatat 22 anak usia 8 – 15 tahun, setingkat SD hingga SMP yang mengikuti gladen pedalangan di Monod Laras.

Ditambahkannya, Monod Laras ingin mendidik anak-anak belajar pedalangan dengan benar. Harapannya, ke depan mereka bisa jadi jalan yang mumpuni dan punya otoritas ketika berpentas Kalau pun tak jadi dalang mereka akan menjadi penonton yang apresiatif, tak hanya menonton goro-goro, limbukan, atau sekadar menikmati pertunjukkan campur sari-nya.

“Pergelaran wayang sekarang terlalu banyak pesan atau titipannya, sehingga otoritas dalang terkooptasi. Seperti yang pernah diungkap almarhum Ki Manteb Sudarsono, dalang mengusung lakon “Wisanggeni Lahir,”, tetapi hingga tancap kayon wisanggeni belum lahir, karena banyak muatan pesanan,” ujar Tjahjono mencontohkan.

Monod Laras sebenarnya merupakan sanggar pedalangan, tetapi calon dalang harus juga menguasai karawitan. “Anak-anak selain belajar dalang juga harus belajar karawitan, dalang akan memimpin dan mengarahkan pertunjukkan,” jelas Tjahjono.

Hal senada diungkap, Supono Jepang, pengajar karawitan dan suluk. “Dalang itu harius bisa Gending artinya bisa Karawitan harus bisa Gandhang bersuara keras dan bagus. Gendheng bisa drama menjalankan dan bersuara sesuai karakter wayang yang dimainkan,” imbuh Supono.

Supono menambahkan, sanggar Monod Laras mengajarkan pedalangan dengan mengikuti pakem gagrak Surakarta.

Supono dan kawan-kawan merasa terpanggil dan mempunyai tanggung jawab untuk ikut melestarikan seni budaya karawitan dan wayang yang sudah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO.

“Meskipun saya dan pak Tjahjono bukan akadenisi lulusan dari Institut Seni Indonesia dan tidak berprofesi sebagai dalang kami ingin ikut berperan nguri-uri wayang. Kalau bukan kita, siapa lagi. Mereka adalah pewaris kami. Sanadya mung sak menir melu udhu, “ tandas Supono.

Sementara itu, Dudu salah satu siswa Monod Laras, mengaku sangat senang bisa latihan dalang.”Saya senang wayang, latihan dalang karena kemauan sendiri. Kalau sudah besar nati ingin jadi dalang,” ujar Dudu.

Sedangkan, peserta gladen lainnya, Jagad Dita berkisah senang wayang sejak dari kecil. “Saya senang bisa belajar di sini. Tetapi di rumah saya juga belajar sendiri dengan membuat layar sendiri. Saya punya cita-cita jadi dalang,” tandas Jagat.

Hal senada juga diungkapkan, Ayak latihan dalang kemauan sendiri. “Saya sering latihan di rumah sendiri. Saya ingin jadi dalang seperti Om saya Sindhunata,” ujar cucu dari Mas Ton Lingkar yang juga penggiat gelaran wayang malam “Jum,at Kliwonan” yang legendaris, karena bulan ini sudah tayang hingga ke-290 kali. (Christian Saputro).